Close burger icon

HELLO THERE, SUPER USER !

Please Insert the correct Name
Please Select the gender
Please Insert the correct Phone Number
Please Insert the correct User ID
show password icon
  • circle icon icon check Contain at least one Uppercase
  • circle icon icon check Contain at least two Numbers
  • circle icon icon check Contain 8 Alphanumeric
Please Insert the correct Email Address
show password icon
Please Insert the correct Email Address

By pressing Register you accept our privacy policy and confirm that you are over 18 years old.

WELCOME SUPER USER

We Have send you an Email to activate your account Please Check your email inbox and spam folder, copy the activation code, then Insert the code here:

Your account has been successfully activated. Please check your profile or go back home

Reset Password

Please choose one of our links :

Rudolf Dethu: BALI VINYL MOVEMENT: Skena Termeriah di 2021

Author : Admin Music

Article Date : 09/01/2022

Article Category : Noize

Tren mengakrabi kembali rilisan fisik—dalam hal ini vinyl alias piringan hitam—yang melanda dunia, menggejala juga di Indonesia. Malah di Bali, belakangan, merupakan daerah yang skena dan selebrasinya paling meriah. 

Sejak fonograf pertama kali merekam suara Thomas Edison bersenandung Mary Had a Little Lamb pada 1877 dan berlanjut satu dasawarsa kemudian ketika Emile Berliner mematenkan gramofon yang mampu menyimpan dan memunculkan suara lewat cakram datar, perkembangan alat rekam dan pemutar bunyi berkembang cukup signifikan. Hingga pada 1930 lahirlah piringan hitam komersial pertama yang diterbitkan oleh RCA Victor, dipasarkan sebagai cakram Program Transcription. Walau penjualannya jeblok namun sejarah rekaman modern mulai bergulir sejak itu.

Di Indonesia, piringan hitam mulai menggeliat di industri rekaman salah satunya lewat kemunculan Irama Records di Jakarta pada 1954 yang didirikan oleh Suyono Karsono, seorang pensiunan Angkatan Udara. Gebrakan perdana Irama Records adalah ketika merilis album jazz Sarinande karya The Progressif dengan pentolan utamanya, Nick Mamahit, pada 1956. Di tahun yang sama, berdirilah studio Lokananta di kota Solo. Lokananta yang merupakan bagian dari Djawatan Radio Republik Indonesia mulai memproduksi rekaman untuk dijual ke publik luas di tahun 1959. Fokusnya saat itu masih lebih kepada musik tradisional macam gending Bali, gamelan, dan klenengan Solo dan Yogyakarta. Pesohor seperti Gesang dan Waldjinah tercatat pernah merekam tembang-tembang keroncong di Lokananta.

Jamak diketahui, popularitas piringan hitam secara global perlahan pupus ketika kaset lalu cakram optik merangsek ke industri rekaman. Kian ditinggalkan ketika format digital kemudian platform streaming merajalela.

Pamor piringan hitam memang sempat cukup terpuruk. Namun tidak sampai gugur terkubur. Platform streaming yang ditengarai bakal sepenuhnya menyudahi eksistensi piringan hitam nyatanya cuma macan kertas. Di Indonesia, barangkali momentum Record Store Day pertama kali pada 2012 di Jakarta berperan besar menguatkan keberadaan piringan hitam, membangunkannya dari pingsan, membuatnya cool bahkan ikonik.

Digawangi oleh Nicodemus Freddy Hadiyanto bersama BRAM (Bali Records and Merchandise), Bali kemudian menyusul menyelenggarakan Record Store Day pada 2016 di Rumah Sanur yang disambut amat meriah oleh publik baik itu penjual, kolektor, musisi juga khalayak umum. Seperti penyelenggaraan Record Store Day pertama kali di Jakarta, acara di wilayah selatan Denpasar ini juga punya peran besar dalam mendorong skena lokal untuk merangkul rilisan fisik kembali. Menurut Marlowe Bandem, salah satu pendiri Spin Sugar, kolektif penggemar piringan hitam yang rajin menyelenggarakan kongkow-kongkow interaktif, Record Store Day perdana tersebut bisa dikategorikan juga sebagai penanda zaman.

"Jatuh hati kepada piringan hitam memang mudah adanya, aural experience yang hangat dan intim. Piringan hitam mempunyai daya tarik visual yang tinggi. Secara fisikal-artistik, piringan hitam menarik dilihat, dipegang dan umumnya sampul dan kemasan album didesain sebagai ekspresi estetis, bisa berdiri sendiri sebagai karya seni rupa. Belum lagi aktivitas memburu, mencari dan memilah piringan hitam record hunting adalah pengalaman yang mengasyikkan dan penuh kejutan. Record Store Day pertama di Bali pada 2016 memiliki magnet sosial luar biasa, kecintaan mendalam akan rilisan fisik menggugah orang berkumpul, saling kenal dan berinteraksi. Memiliki, memajang, memutar dan membicarakan koleksi akhirnya bermuara pada pemahaman akan seni dan pengetahuan musik yang lebih komprehensif. Dampaknya bombastis," ungkap Marlowe Bandem panjang lebar, mengingat kembali seberapa gempita pesta dan parade rilisan fisik tersebut.

Bersama karibnya sejak belia, Ridwan Rudianto, mereka berdua kerap bersua sekadar mengobrol dan saling memamerkan plat-plat yang mereka anggap menarik. Dari sini kemudian muncul ide untuk melebarkannya menjadi ajang publik hingga akhirnya pada Januari 2017 menyelenggarakan acara kongkow-kongkow paling pertamanya. Yang menarik adalah konsepnya yang juga adalah slogannya: play vinyl + share story. Marl dan Ridwan mengundang beberapa rekan crate diggers untuk bertemu dan bercengkerama serta mempersilakan mereka secara bergilir untuk memainkan koleksi piringan hitamnya. Peserta yang hadir tidak harus seorang disjoki piawai. Siapa pun bisa tampil memutar plat-plat kesukaannya dan berkisah tentang piringan hitam yang mereka putar tersebut. Fokusnya lebih pada keakraban komunitas pecinta piringan hitam, bukan pada unjuk aksi disjoki. Gaya rileks dan inklusif serta semangat memasyarakatkan dan gerakan penyadaran terhadap mulianya eksistensi piringan hitam ini terbilang jitu. Bagaimana tidak, sejak kemunculan pertamanya pada Januari 2017 hingga Desember 2021, Spin Sugar telah menyelenggarakan lebih dari 120 acara.

Sosok lain yang memiliki peran menonjol pada solidnya gerakan cinta piringan hitam dan rilisan fisik ini adalah Andhika Gautama alias Westside MuzeeQ. Pria jangkung klimis yang memiliki piringan hitam sejak usia 8 tahun (single Rick James "Give It to Me Baby") ini menjadi energi tambahan bagi Spin Sugar. Saat Marl dan Ridwan sedang keteteran membagi waktu antara piringan hitam, kerja, dan keluarga, Andhika yang mengambil alih kendali Spin Sugar. Latar belakangnya sebagai penyelenggara acara profesional dan pernah wira-wiri di label rekaman mayor secara alami membuatnya lincah bergerak serta tersimak tak kenal lelah menggagas acara. 120 acara Spin Sugar yang telah terselenggara hingga minggu lalu tersebut, sebagian adalah hasil kerja kerasnya.

Manuver Andhika bukan sekadar berhenti di Spin Sugar, antusiasme publik terhadap piringan hitam membuatnya terinspirasi mendirikan kolektif Westside SpinnerZ. Ia mengumpulkan orang-orang yang bisa diajaknya berkeliling tampil memainkan piringan hitam di beragam ajang, baik internal maupun eksternal. Anggota Westside SpinnerZ sampai sekarang sudah mencapai jumlah 22 orang. Yang paling membuatnya bangga adalah kala Juni 2021 silam saat menyelenggarakan Record Store Day di Hard Rock Cafe ia gilang gemilang menghadirkan 33 vinyl selectors serta lebih dari 20 pelapak turut meramaikan.

Di Bali sendiri kini ada setidaknya empat penjual rilisan fisik yang aktif berniaga yaitu Millers di Umalas, Substore di Panjer, Volx di Sanur, serta yang paling baru, milik si Andhika pribadi, Westside MuzeeQ di Tuban.

Ditemui saat pesta pembukaan nan meriah toko rilisan fisik miliknya sendiri, Andhika girang bilang, "Dari sepengetahuanku, skena vinyl di Bali itu paling aktif dan paling meriah di Indonesia. Tahun ini saja paling tidak ada 3-4 acara dalam sebulan. Bali memang bukan yang paling pertama bikin acara vinyl. Tapi terbukti paling konsisten ...."

Andhika seperti mengamini ujaran rekan saya seorang penulis ibu kota yang bilang bahwa skena musik Bali adalah skena terbaik negeri saat ini. Mari bersulang!

PERSONAL ARTICLE

ARTICLE TERKINI

Tags:

#Supernoize # Rudolf Dethu

0 Comments

Comment
Other Related Article
image article
Noize

Rudolf Dethu: Muda, Bali, Bernyali

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Perilaku Individu Musik Indonesia di Era ‘Baby Boomers’ dan ‘Gen X’

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Yulio Piston: Tentang Menjadi Pengkritik Musik

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Sudah Saatnyakah Indonesia Punya Rock ‘n Roll Hall of Fame?

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Acum Bangkutaman: Mencari Band Buruk yang Berpengaruh

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Berkeliling Eropa Bersama Morgensoll dalam Eternal Tour 2023

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Pentingnya Paham Soal Hukum dalam Industri Musik

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Musisi Bertopeng dan Budaya Asalnya

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Menebak-nebak Masa Depan Vinyl Indonesia

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Catatan Perjalanan: EHG Forever, Forever EHG!

Read to Get 5 Point
image arrow
1 /