Mungkin judul di atas cukup mengganggu teman-teman musisi atau mereka yang berkecimpung di industri musik. Benarkah 2021 adalah tahun yang baik? Mungkin sebagian besar pihak akan berkata tidak. Namun saya yakin tidak sedikit juga yang menganggap 2021 tidak terlalu buruk juga.
Izinkan saya memulai kalimat kontroversial di awal sebagai bahan renungan kita di akhir tahun ini.
Pandemi memang membuat semua elemen hancur total, tak terkecuali musik. Semua strategi yang telah disusun sejak 2019 buyar total: semua tur konser, konser tunggal, launching album, promo album semua harus berhenti total. Dunia, termasuk industri musik yang besar akhirnya berhasil dikalahkan oleh virus yang hanya berukuran 10-300 mikron.
Di paruh semester pertama, nyaris tak ada kegiatan sama sekali. Semua band termasuk setiap individu di musik diam di tempat. Jangankan membuat rencana cadangan untuk survival mode, mempertahankan kesehatan dan nyawa setiap individu jauh lebih penting.
Band-band populer yang sudah besar di industri terpaksa mengeluarkan kocek dari kas untuk membayar semua kebutuhan dari semua individu yang ada di dalam band: personel, kru, manajer, sampai supir. Namun hal ini tidak bisa bertahan lama. Harus ada rencana cadangan untuk tetap bertahan di situasi ini.
Hingga paruh kedua, sesuatu terjadi. Pelan-pelan, semua aktivitas manusia dipindahkan secara virtual. Dari pertemuan-pertemuan internal virtual lewat Zoom dan Google Meet sampai menghabiskan 45 menit bercakap-cakap di Instagram Live, sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh musisi sebelumnya mendadak marak di paruh kedua.
Tingkatan selanjutnya dalam aktivitas virtual ini adalah konser virtual. Pelan-pelan satu dua lebih band mulai merancang strategi untuk bermain di virtual. Elemen lain seperti event organizer, production house, juga pemilik venue, serta soundsystem pelan-pelan saling bersinergi. Sponsor pun pada akhirnya melirik langkah-langkah survival mode ini dan akhirnya menaruh uang di situ. Industri pun kembali ada.
Hingga di awal 2021, tidak sedikit band yang hampir memiliki apa yang dinamakan sebagai virtual rate card & raiders. Sebuah standar baru yang dibuat band ketika mereka diminta oleh sponsor untuk melakukan aktivitas secara virtual, mulai dari manggung sampai melakukan promo di media sosial, setiap inci akan dihitung argonya.
Bagi band yang belum beruntung di industri, atau mereka yang masih berada di jalur samping, mereka tetap melakukan cara serupa meskipun tanpa mengharap bayaran. Di tiap Kamis dan weekend, akun Instagram saya dibanjiri oleh Live IG dari setiap musisi yang saya ikuti.
Selain hal-hal yang saya sebutkan di atas, fenomena menarik lainnya yang saya temukan adalah tidak sedikit diantara individu di band dalam hal ini musisi yang akhirnya banting setir menjadi host dari acara YouTube podcast. Eka Brandals dengan Diskasnya, Buluk Superglad dengan Catatan Si Buluknya, David Bayu dengan David Bayutube-nya, Jimi Multhazam dengan Ngobryls-nya. Sekadar catatan untuk Ngobryls, meskipun ia telah memulainya jauh sebelum pandemi, namun aktivitasnya makin giat selama pandemi.
Menginjak semester kedua tahun ini, saya baru sadar bahwa ada banyak rekaman-rekaman sampai album yang dibuat selama pandemi ini. Baik dari digital sampai fisik sekalipun. Saya ingat betapa CD dan vinyl White Shoes and The Couples Company – 2020 ludes terjual hanya dalam beberapa hari saja. Ini membuktikan bahwa baik musisi maupun penikmat musik tetap bergairah akan aktivitas-aktivitas musik.
Banyak album bagus yang dibuat justru di masa pandemi. MOMO’S MYSTERIOUS SKIN misalnya. Album kedua dari BAP. Moniker dari musisi hip hop eksperimental Kareem Soenharjo membuktikan bahwa 2021 tidak mematikan kreativitas dari musisi untuk tetap berkarya. Persis di waktu tulisan ini terbit, mungkin tidak sedikit media musik lokal yang sudah duluan membeberkan 10 Album Terbaik tahun ini. Coba intip saja, daftarnya gawat dan tidak main-main.
Sampai di penghujung tahun ini, seberkas sinar mendadak muncul di kegelapan. Status pandemi yang berangsur-angsur membaik serta kebijakan pemerintah tentang diperbolehkannya lagi konser musik dalam skala kecil membuat band mulai keluar rumah dan bermain secara offline. Ratusan gig di wilayah Jakarta dan sekitarnya digelar sejak Oktober/November kemarin. Musisi seperti Pamungkas bahkan sudah terang-terangan jalan tour di beberapa kota untuk tampil secara offline (ini saya catat sebagai tour pertama yang digelar di masa pandemi).
Seperti tajuk tulisan saya, 2021 menurut saya adalah tahun yang baik untuk pembelajaran. Thanks to this year, banyak musisi akhirnya belajar untuk bagaimana bertahan dan berstrategi di masa yang sulit. Jika biasanya mereka dimanjakan dengan berbagai macam kemudahan, namun situasi ini membuat mereka tahu bahwa paling tidak jika sesuatu terjadi di masa depan, mereka sudah dibekali dengan perencanaan yang kuat dengan aktivitas-aktivitas virtual yang telah mereka persiapkan matang.
2022, ditengah kewaspadaan masyarakat akan virus omicron yang kabarnya masuk ke tanah air, namun rasa optimisme masyarakat termasuk insan musik rasa-rasanya jauh melebihi kekhawatiran. Saya pribadi yakin bahwa 2022, langit industri musik Tanah Air akan makin dan makin cerah. Saya sudah mengintip beberapa strategi dari yang dibuat oleh band-band papan atas di tahun depan. Mari berharap semesta mendukung rencana ini dan keadaan bisa kembali seperti normal.
We have hopes.
Please choose one of our links :