Pandemi belum selesai, namun saya melihat satu dua musisi seperti Pamungkas, Coldiac, atau Jason Ranti sudah menuliskan jadwal tur mereka. Ini bukti bahwa tur adalah sesuatu yang paling dirindukan para musisi. Di dalam tur, mereka benar-benar bisa bertatap muka dengan para fans, berbagi energi dan mendulang apresiasi.
Di pertengahan pandemi lalu, ketika kita sudah mulai sadar bahwa kita tidak bisa kemana-mana dan musisi benar-benar terpisah dengan penggemarnya. Muncul pemandangan yang lucu. Saya sebut lucu karena ada satu dua musisi yang mencantumkan jadwal konser virtual bahkan di IG mereka seolah-olah itu adalah pusat informasi dari jadwal tur mereka. Well, saya melihat hal tersebut cuma bisa geleng-geleng saja. Menurut saya itu hanya sekadar jadwal kegiatan saja. Tidak lebih tidak kurang.
Mari kita ngobrol sedikit soal tur. Tur adalah kegiatan wajib yang harus dilakukan musisi. Saya sebut kegiatan wajib karena basically, musisi yang benar-benar terjun ke musik, tur adalah bagian dari kehidupan mereka, bagian dari siklus kehidupan mereka sebagai musisi.
Sebelum terjadinya tur, musisi disibukkan dengan rekaman, selama berbulan-bulan di studio menulis dan merekam materi-materi baru mereka. Paralel dengan itu, para manajer akan sibuk di depan telepon atau sekarang laptop untuk menghubungi para promotor acara di setiap kota untuk mengatur jadwal tur album dari rekaman yang bahkan belum jadi. Untuk band yang sudah besar, para manajer band akan terlihat sibuk berbicara dengan manajer tur untuk mengatur tur yang seru untuk album yang tengah dipersiapkan tersebut. Manajer tur ini yang nantinya akan sibuk dengan urusan menemukan bus yang nyaman dengan band dan kru atau kota-kota mana yang belum pernah dikunjungi si musisi/band nantinya.
Pemandangan di atas bukanlah good to be true buat industri musik tanah air. Satu dua band di masa lalu sudah melakukannya. Band-band besar seperti Slank dan Dewa sudah melakukan tur album mereka. Band-band cadas seperti Burgerkill atau Deadsquad bahkan sudah membawa level tur mereka di luar Indonesia. Sementara di bawah tanah, musisi-musisi solo seperti Sisir Tanah misalnya, memilih untuk melakukan tur nya secara swadaya. Musisi lain seperti bangkutaman memilih menggelar tur kolektif bersama beberapa band lainnya dari Efek Rumah Kaca, Sir Dandy, Zeke Khaseli, dan The Kucruts, hal ini dibuat untuk lebih membagi keseruan di saat perjalanan.
Tahun 2010, manajemen sekaligus label band saya, bangkutaman bernama Jangan Marah Records membuat konser tour di 10 kota. Tur ini dibuat dalam rangka mempromosikan roster baru label ini juga sekalian mempromosikan rekaman terbaru mereka, seperti Zeke Khaseli dengan Salacca Zalacca-nya yang belum lama rilis sebelum tur ini.
Selama hampir dua minggu setiap harinya, kami habiskan dengan menghibur fans di tiap kota di pulau Jawa. Tujuan kami membuat tur kolektif beberapa musisi itu tak lain hanya untuk berbagai kesenangan ke beberapa band. Selain itu, dengan banyaknya musisi dalam satu tur akan menambah kesenangan dari fans yang ada di tiap kota, karena mereka tidak hanya mendapatkan satu band, namun dua, tiga, empat atau lima band sekaligus dalam satu acara.
Di sela-sela tur itu, selain manggung, kami dan juga para musisi lainnya biasanya disibukkan dengan interview radio atau dengan majalah musik lokal. Kuliner adalah sesuatu yang selalu diburu oleh musisi di tiap kota.
Sayangnya, tur album sebagai siklus di peta musik tanah air belumlah bisa dilakukan dengan baik. Hanya satu dua musisi yang tampaknya melakukannya siklus ini dengan baik. Rekaman - rilis album - tur - kembali rekaman - rilis album - tur dan begitu terus. Konsistensi adalah sebuah tantangan atau momok bagi musisi kita. Ini menjadi faktor internal selain dari manajemen yang masih kurang baik.
Salah satu faktor internal lainnya adalah fakta bahwa sebagian musisi kita tidak sepenuhnya terjun di musik. Tidak sedikit yang menganggap musik hanya sebagai hobi di luar pekerjaan yang mereka geluti yang mengikat mereka dari segi waktu dan kesempatan. Saya sudah sering mendengar dengar cerita soal pegawai yang gamang antara pilihan harus resign lantaran harus melakukan tur panjang selama sebulan penuh.
Ini mengapa untuk menyiasatinya, kita sering temui band-band yang sering melakukan tur-tur pendek, kadang hanya 5 kota atau 3 kota di weekend. Muncul istilah weekend musician, yaitu band-band yang hanya menjalankan tur nya di weekend. Walaupun ini tidak bisa disebut tur secara ajeg, namun ya, inilah wujud dinamika yang terjadi di Indonesia dan mungkin di beberapa negara berkembang lainnya.
Namun saya tetap optimis bahwa di masa depan kelak, ketika semua tata kelola industri musik sudah tertata baik, semua orang yang serius dalam bermusik akan keluar dari pekerjaan kantornya dan melakukan tugas mulia sebagai seorang musisi, rekaman, merilis album dan menjalankan tur-nya dengan baik, lalu kembali rekaman dan begitu seterusnya. Menemukan tour bus berjejer di venue-venue kecil seperti klab, bar sampai stadion bukanlah penampakan aneh yang akan kita temukan di kemudian hari.
Suatu hari nanti, tur akan menjadi kewajiban bukan pilihan, untuk semua musisi.
Image courtesy of Fougasse/Shutterstock
Please choose one of our links :