Close burger icon

HELLO THERE, SUPER USER !

Please Insert the correct Name
Please Select the gender
Please Insert the correct Phone Number
Please Insert the correct User ID
show password icon
  • circle icon icon check Contain at least one Uppercase
  • circle icon icon check Contain at least two Numbers
  • circle icon icon check Contain 8 Alphanumeric
Please Insert the correct Email Address
show password icon
Please Insert the correct Email Address

By pressing Register you accept our privacy policy and confirm that you are over 18 years old.

WELCOME SUPER USER

We Have send you an Email to activate your account Please Check your email inbox and spam folder, copy the activation code, then Insert the code here:

Your account has been successfully activated. Please check your profile or go back home

Reset Password

Please choose one of our links :

musik Indonesia 2019

Author :

Article Date : 29/12/2019

Article Category : Noize

Gelaran berskala nasional untuk musisi dalam negeri Anugerah Musik Indonesia (AMI) Awards sudah tuntas dihelat pada 27 November lalu. Dari 50 kategori, menarik melihat bagaimana nama-nama yang muncul sebagai pemenang tidak datang dari naungan label mayor.

Mantra Mantra dari Kunto Aji dinobatkan menjadi Album Terbaik Terbaik. Selain itu, Ramengvrl, Pee Wee Gaskins, Kelompok Penerbang Roket, sampai Ardhito Pramono juga muncul ke permukaan. Mereka ini adalah nama-nama yang besar berkat platform digital, seperti YouTube dan Instagram. 

Industri musik Indonesia telah berubah. Hingga beberapa tahun lalu, AMI Awards masih didominasi oleh Gigi, Nidji, Yovie and Nuno, dan tentu, NOAH. Waktu itu, gerakan bawah tanah hanya keren untuk beberapa kelompok. Berkebalikan dengan hari ini, di mana semua orang mendadak hobi menyesap kopi sambil menatap senja.

Gak bisa dipungkiri platform digital berperan besar, seiring kemudahan mengakses internet. Artinya, ada lebih banyak pilihan. Evolusi selalu menawarkan hal baru. Toko kaset bangkrut, ada Spotify. Gambar dan artikel di majalah sebagai sumber informasi tergilas video-video YouTube. Untuk membentuk dan menjaga citra, ada berbagai fitur yang dimiliki Instagram yang membuat penggemar merasa dekat dengan idola.

Dulu, audio saja sudah cukup. Lantunan lagu di radio sudah bisa membuat orang tersenyum sendiri. Sekarang, musisi harus memikirkan banyak hal lain, terutama kemasan diri. Musisi tak hanya bertanggung jawab atas karyanya, tapi juga perilaku, tutur kata, dan image sebagai sebuah kesatuan aset. Semua bisa diolah dan dibentuk sesuka hati atau sesuai konsep, dengan catatan membutuhkan upaya tak sedikit untuk konsisten bertahan. 

Pengalaman baru mendengarkan musik seperti ini yang didapat oleh generasi millenial, yang kemudian terimbas pada festival-festival musik. Gengsi menonton We The Fest atau festival semacamnya yang menampilkan banyak performer luar negeri sama terasa sama seperti ketika menonton Synchronize yang memiliki booth minuman jamu sendiri, di mana penonton rela mengular antri demi sebotol anggur merah yang sebenarnya mudah didapat di luar venue.

Para penghuni gerakan bawah tanah telah mendapatkan posisinya sendiri. Ini momen mereka untuk menunjukkan kemerdekaan berkarya dan betapa menyenangkannya untuk menjadi 'kekirian'. Yang disebut sebagai musik 'indie' sekarang sudah tak se-indie dulu. Pekerjaan rumah yang tersisa adalah tetap mempertahankan rasa kebebasan itu tanpa kehilangan jati diri. 

Achmad Pratama, yang dikenal sebagai Toma sang bassist Mocca sepakat dengan hal itu. Pria yang juga seorang penulis lagu, produser musik, dan jingle maker ini menyatakan interaksi langsung memang diperlukan. Gak cuma dengan penggemar, tapi juga dengan komunitas musik.

"Tetap bikin karya dan jangan lupa untuk build dan masuk ke dalam ekosistemnya. Walau sudah dipermudah dengan adanya teknologi, tapi kita jangan lupakan interaksi langsung dengan komunitas musik yang ada biar terjalin silahturaminya," kata Toma.

Toma 'Mocca' (foto: dokumentasi penulis)

Toma menyebut pandangan orang terhadap musik sudah bergeser jauh dari sebelumnya. Ia memberi contoh musik elektronik sebagai genre yang mengalami perkembangan pesat, yang ia nilai sebagai perubahan baik. Belakangan, elektronik memang seperti menjadi salah satu elemen penting di industri, terlebih genre itu kerap diracik dengan genre lain seperti pop sampai hip hop.

"Genre elektronik sangat mendominasi di chart musik yang ada saat ini. Hampir seluruh genre dipengaruhi elektronik musik, dari mulai pop sampai rock," katanya lagi.

PERSONAL ARTICLE

ARTICLE TERKINI

Tags:

#adit satcf #ami awards 2019 #Musik Indonesia #musik indonesia 2019 #musik independen #Band Indie #band indie indonesia #musik elektronik

0 Comments

Comment
Other Related Article
image article
Noize

Rudolf Dethu: Muda, Bali, Bernyali

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Perilaku Individu Musik Indonesia di Era ‘Baby Boomers’ dan ‘Gen X’

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Yulio Piston: Tentang Menjadi Pengkritik Musik

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Sudah Saatnyakah Indonesia Punya Rock ‘n Roll Hall of Fame?

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Acum Bangkutaman: Mencari Band Buruk yang Berpengaruh

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Berkeliling Eropa Bersama Morgensoll dalam Eternal Tour 2023

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Pentingnya Paham Soal Hukum dalam Industri Musik

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Musisi Bertopeng dan Budaya Asalnya

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Menebak-nebak Masa Depan Vinyl Indonesia

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Catatan Perjalanan: EHG Forever, Forever EHG!

Read to Get 5 Point
image arrow
1 /