Close burger icon

HELLO THERE, SUPER USER !

Please Insert the correct Name
Please Select the gender
Please Insert the correct Phone Number
Please Insert the correct User ID
show password icon
  • circle icon icon check Contain at least one Uppercase
  • circle icon icon check Contain at least two Numbers
  • circle icon icon check Contain 8 Alphanumeric
Please Insert the correct Email Address
show password icon
Please Insert the correct Email Address

By pressing Register you accept our privacy policy and confirm that you are over 18 years old.

WELCOME SUPER USER

We Have send you an Email to activate your account Please Check your email inbox and spam folder, copy the activation code, then Insert the code here:

Your account has been successfully activated. Please check your profile or go back home

Reset Password

Please choose one of our links :

Brian Eno: Sang 'Non-Musisi' Penjelajah Bunyi

Author :

Article Date : 17/01/2018

Article Category : Super Icon

“Saya membantu orang-orang berkomunikasi dengan sesama, melalui berbagai cara.”

Brian Peter George St. John le Baptiste de la Salle Eno, adalah produser musik kenamaan, menyebut dirinya sebagai “non-musisi.” Ia menukangi beberapa album berkualitas seperti sejumlah diskografi David Bowie, Talking Heads, Devo, U2, dan Coldplay. Eno juga seorang pionir musik ambient dan figur pertama yang menggunakan istilah itu.

Eno dilahirkan di Woodbridge, England, pada 15 Mei 1948, dan tumbuh di pedesaan Suffolk, Inggris, berdekatan dengan markas angkatan udara Amerika Serikat. Semasa kecilnya, Eno menikmati doo woop dan proto rock n’ roll di radio Angkatan Bersenjata Amerika Serikat, bunyi ini ia sebut musik dari Mars. Sejak dini ia sudah tertarik dengan seni, minat ini mengantarnya ke bangku sekolah seni, pertama di Ipswich Civic College, kemudian Winchester School of Art. Pada fase ini Eno mengenal komposer kontemporer dan avant garde seperti John Cage, La Monte Young, dan Terry Riley.

“Bagi saya, motivasi seniman sebagian besarnya datang dari ambisi negatif. Kita mendorong diri melawan hal tertentu. Saat saya kecil, ambisi negatif saya adalah keengganan mencari pekerjaan tetap,” ujar Eno.

Ambisi negatif Eno mendorongnya ke dalam grup glam kenamaan, Roxy Music. Peran Eno dalam band ini, selain memainkan synthesizer, adalah memanipulasi bunyi yang mereka hasilkan. Tak hanya tampil maksimal lewat tata rias, selendang bulu dan korset, sumbangannya untuk sound Roxy Music pun bahkan mengusik ego sang vokalis Bryan Ferry. Setelah merilis dua album, Roxy Music (1972) dan For Your Pleasure (1973), Eno mengundurkan diri untuk memulai karier solo yang masih berlangsung hingga kini.

Eno langsung berkolaborasi dengan Robert Fripp, gitaris dan konseptor King Crimson, menghasilkan No Pussyfooting (1973). Di album ini Eno mengembangkan sistem tape-delay (“Frippertronics”), yang memungkinkannya memanipulasi permainan gitar Fripp (dengan loop delay). Di tangan mereka, teknologi studio digunakan sebagai instrumen komposisi musik. Praktek ini nantinya dikembangkan oleh produser/musisi hip-hop dan electronica. Eno mengakhiri tahun ini dengan merilis Here Come the Warm Jets, hibrida glam rock dan electronica eksperimental yang mencapai posisi 26 di tangga album Britania Raya.

Setelah merilis Taking Tiger Mountain (By Strategy) (1974), Eno terlibat dalam kecelakaan mobil yang mengharuskannya terbaring di rumah sakit selama beberapa bulan. Namun, musibah ini berbuah berkah lantaran ia mengembangkan konsep musik ambient.

Saat itu, musik yang ia dengar kerap bercampur dengan bebunyian lain. Eno menyadari bahwa musik bisa hadir untuk mengisi ruang dan bergabung dengan atmosfer lingkungan. Konsep ini ia mulai dalam Another Green World (1975), magnum opus Eno periode awal yang berisi komposisi avant-pop minimalis. Pengembangan embrio ini akhirnya terasa jelas di Discreet Music (1975), seri pertama dari sepuluh album eksperimental yang dirilis di label miliknya, Obscure.

“Saya sering menulis, dan salah satu metode menulis yang saya gunakan adalah menulis musik seperti itu dan meneruskan tulisan saya. Biasanya saat mulai menulis lagi, terbesit; ‘Musik ini terlalu banyak memuat suatu hal dan kekurangan hal lainnya.’ Jadi saya mulai sedikit mengutak-atik komposisinya. Saya menyesuaikan musik ini sampai dapat membantu saya menulis,” jelas Eno.

Di tahun 1977, sentuhan emas Eno benar-benar terasa. Ia memertemukan struktur pop dan sound ambient di salah satu album terbaiknya, Before and After Science, memantapkan proyek ambientnya dengan Ambient 1: Music for Airports dan membangun Music for Films, komposisi ambient untuk soundtrack sebuah film imajiner. Eno juga aktif berkolaborasi dan memproduseri album di tahun ini. Kolaborasinya dengan duo elektronik Cluster menghasilkan album ambient seminal Cluster & Eno. Sedangkan kolaborasinya bersama Bowie menghasilkan salah satu trilogi album modern terbaik (Trilogi Berlin), yaitu Low, Heroes(keduanya dirilis pada 1977), dan Lodger (1979).

Di medio ini, Eno juga menjalin kerjasama artistik bersama Talking Heads, kuartet post-punk/new wave asal New York. Kolaborasi ini menghasilkan tiga album dalam tempo tiga tahun, yaitu More Songs About Buildings and Food (1978), Fear of Music (1979), serta khususnya Remain in Light (1980), di mana semua lagu ditulis oleh Eno dan David Byrne (vokal/gitar). Ketiganya diakui menjadi karya penting Talking Heads hingga kini. Lagi-lagi ketegangan internal memaksa Eno untuk hengkang.

Pada dekade selanjutnya, Eno konsisten berkolaborasi dan memproduseri album, juga memperluas cakrawala sound ambient-nya. Ia berkolaborasi bersama tiga rekan baru; Kerjasamanya dengan Harold Budd menghasilkan ambient minimalis The Plateaux of Mirror (1980) dan The Pearl (1984). Bersama pemain terompet Jon Hessel ia menghasilkan hibrida electronica dan musik tradisional, Fourth World, Vol. 1: Possible Musics (1980). Pada periode ini Eno dan produser Daniel Lanois juga menukangi dua album pelejit nama U2, yaitu The Joshua Tree (1987) dan Achtung Baby (1991).

Eno juga sempat bereksperimen dengan soundtrack dark ambient bertema luar angkasa yang terjual sebanyak empat juta kopi bersama adiknya, Roger Eno dan Lanois, Apollo: Atmospheres and Soundtracks (1983).

“Di antara para seniman, ada juga para penjelajah atau pionir, dan juga para pendatang. Keduanya adalah peran yang penting, tapi semangat saya ada di sisi pionir. Perkembangan saya tumbuh di tempat yang belum pernah dikunjungi siapapun. Saya tidak suka mengeksploitasi suatu teritori sesampainya saya di sana,” ucap Eno.

Berangkat dari semangat ini, Eno memproduseri album art rock/spoken word John Cale (mantan personel The Velvet Underground), Words for the Dying (1989). Kolaborasi mereka kemudian menghasilkan Wrong Way Up (1990), album pertama yang memuat vokal Eno pasca pertengahan 70-an. Eno kemudian merilis album dark ambient The Shutov Assembly (1992), sebuah karya ambient eksperimental Nerve Net (1992), serta Neroli (1993), nomor ambient sepanjang 58 menit yang kerap diputar di bangsal bersalin.

Produser berkepala plontos ini juga mengeksplorasi medium seni lain, seperti video berformat vertikal Mistaken Memories of Medieval Manhattan (1980), instalasi pembukaan kuil Shinto pada 1989, karya multimedia berjudul Self-Storage (1995) bersama Laurie Anderson, dan membangun piranti lunak screen saver audio komputer bernama Generative Music I. Eno menyongsong milenium baru dengan merilis Sonora Potraits, koleksi berbagai lagu ambient serta booklet pendamping sepanjang 93 halaman.

Salah satu karya fenomenal Eno adalah musik untuk sistem operasi Windows 95 milik Microsoft. Tahun 1994, Eno menciptakan komposisi bunyi berdurasi enam detik untuk digunakan sebagai musik ketika menyalakan Windows 95. Karya tersebut kerap dinamakan The Microsoft Sound. Kelak Eno mengaku bahwa ia menciptakan komposisi tersebut di komputer Macintosh, alih-alih PC berbasis sistem operasi Windows.  

Memasuki milenium baru, Eno melebarkan koleksi karyanya dengan merilis Dawn For Life (2001) dan soundtrack manga bernuansa ambient/tradisional Jepang, Music for Onmyo-Ji (2000) bersama DJ Jan Peter Schwalm. Eno juga kembali berkolaborasi dengan Fripp untuk pertama kalinya sejak 1975 di album The Equatorial Stars (2004), juga bersama Byrne (eks vokalis/gitaris Talking Heads), Everything That Will Happen Today (2008). Selain itu Eno juga berkolaborasi dengan duo produser elektronik, Leo Abrahams dan Jon Hopkins di Small Craft on a Milk Sea (2010) dan proyek ambient-spoken word, Drums Between the Bells (2011) bersama penyair Rick Holland serta beberapa penyair lainnya. Dalam periode ini Eno juga merilis Another Day on Earth, album bervokal untuk pertama kalinya sejak 1990. Ia juga merilis 77 Million Paintings, paket perangkat lunak DVD berisi lukisan dinamis yang dilatari musik ambient.

Eno kembali merilis seri ambient terbaru, Lux di tahun 2012, ia juga kembali melebarkan sayap eksperimentalnya bersama Karl Hyde (pendiri Underworld) dengan album electronica/pop/afro-beat Someday World (2014) dan karya ambient High Life (2014). Pada periode ini Eno kembali aktif merilis album solo, dari instalasi sound The Ship (2016) hingga Reflection (2017), yang ia klaim sebagai “ruang provokatif untuk berpikir”. Eno menutup 2017 dengan merilis kolaborasinya dengan pianis Tom Rogerson (Three Trapped Tigers), Finding Shore.

Sebagai komposer, produser, kibordis, vokalis dan seniman visual multimedia, Eno membuka beberapa jalan serta perspektif baru untuk melihat kemungkinan sound dalam musik. Eno menjelajahi atmosfer dan eksperimen baru dalam menghasilkan musik.

“Saya tertarik atas aplikasi generative music sebagai model tatanan masyarakat atau politik baru. Saya tengah mengerjakan ide-ide menarik untuk membuat sebuah tatanan masyarakat bekerja dengan baik, alih-alih masyarakat yang disfungsional seperti sekarang. Saya mencoba model dan struktur  seperti apa yang bisa menghasilkan musik yang saya inginkan. Ini juga bisa dijadikan kerangka berpikir untuk membangun tatanan masyarakat,” tutup Eno.

PERSONAL ARTICLE

ARTICLE TERKINI

Tags:

#Brian Eno #roxy music #David Bowie #U2 #robert fripp #ambient music

0 Comments

Comment
Other Related Article
image article
Super Icon

Childish Gambino: Ikon Multitalenta Generasi Milenial

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Super Icon

Greg Graffin: The Punk Professor

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Super Icon

Childish Gambino: Ikon Multitalenta Generasi Milenial

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Super Icon

Kendrick Lamar sebagai King of Today Hip-Hop

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Super Icon

Yellow Magic Orchestra: Pelopor Musik Elektronik dari Negeri Sakura

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Super Icon

The Upstairs Membawa Gelombang Musik Baru di Indonesia

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Super Icon

Tyler, The Creator: Ikon Rapper Nyentrik Masa Kini

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Super Icon

Mitch Lucker: The Fallen Prince of Deathcore

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Super Icon

Gerard Way si Frontman Emo Mulitalenta

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Super Icon

The Weeknd: Starboy yang Terus Meroket

Read to Get 5 Point
image arrow
1 /