Author :
Article Date : 23/03/2018
Article Category : Noize
Depresi dan kreativitas. Butuh lebih dari sekadar artikel tertulis untuk membahas hal ini.
Sering saya membaca tentang hal yang sekiranya menyatakan “kreativitas dan depresi adalah teman baik.” Bisa kita sebut nama-nama besar di dunia seni yang mengalami hal ini. Van Gogh yang tenggelam dengan kesedihan atas masalah cintanya, Salvador Dali yang tenggelam setelah kematian istrinya, bahkan nama-nama besar dunia musik yang kita tahu dari ‘27 Club’, seperti Kurt Cobain dengan depresi yang diidapnya sejak kecil, dan Amy Winehouse dengan bipolar disorder-nya yang menjadi trigger lebih untuk rasa depresinya.
Karya seni adalah salah satu media komunikasi untuk menyatakan perasaan yang terkadang tak terkatakan atau tak tersampaikan. Mudah atau susah dicernanya suatu karya seni terkadang berhubungan dengan ‘perasaan’ sama yang dimiliki oleh pembuat dan penikmatnya. Tak jarang pula kita punya cara sendiri untuk menginterpretasikan atau mengartikan karya seni tersebut.
Karya tulis merupakan salah satu karya seni yang paling sering kita jumpai. Tak butuh untuk menjadi sarjana agar Anda bisa menulis, apalagi surat cinta atau sekedar chat gombal untuk pasangan Anda, atau untuk orang yang Anda kasihi.
Sudah sejatinya menulis menjadi katarsis bagi beberapa manusia, dengan menulis terkadang kita berharap seseorang membaca agar mengerti hal apa yang kita inginkan, dan rasakan.
Dalam dunia musik, karya tulis biasa disulap menjadi lirik lagu dan menjadi nyawa dalam lagu tersebut. Seperti yang saya jelaskan di atas, karya seni (lirik lagu) adalah media, dan lirik lagu adalah nukilan isi hati sang penulis, bait emosi yang tertata, terkadang berima. Tak jarang tulisan itu berisi sajak, rintihan, sindiran, amarah bahkan guyonan si penoreh tinta.
“Wandering Stars” dari Portishead dan “Tomorrow Comes Today” milik Gorillaz contohnya. Dua lagu ini adalah dua lagu favorit yang saya selalu putar ulang bertahun-tahun. Lirik “Wandering Stars” bercerita tentang insecurity yang membesar dan tak bisa diungkap, dan bisa dilihat pula kalau Beth Gibbons mencoba menjelaskan rasa ini, rasa kebutuhan sosok seseorang untuk menemani dan mengatasi perasaan ketakutan tak berujung yang mungkin kematian lah akhir dari ini.
Begitu juga Damon Albarn yang mencoba meneriakkan atas rasa ketakutan dan ketidaknyamanan yang dia miliki atas spotlight yang dia terima, dan dia tidak mau berhenti mendengar atas opini orang tentang hidupnya. Sangat bertolak belakang, tapi itulah kenyataan yang terjadi di kehidupan kita.
Dari dua lagu di atas, bisa dilihat kalau dua penulisnya mempunyai masalah yang berbeda dengan kompleksitas yang berbeda, tetapi berujung di ruang depresi yang nyaris sama.
Apa sih depresi itu?
Depresi adalah suatu kondisi kejiwaan yang tingkatannya lebih dari sekadar sedih dan dapat memengaruhi mood dan pikiran orang yang memilikinya.
Depresi dapat disebabkan oleh beberapa hal, bisa karena serotonin yang kurang dan menurun secara genetik, bisa dari kebiasaan seseorang untuk memendam masalah, dan kurangnya ruang untuk bercerita atau sekedar share tentang masalah tersebut, bisa pula juga akibat penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol yang berlangsung lama.
Lantas apa hubungannya antara DEPRESI DAN KREATIVITAS?
Mungkin saya bukan orang yang cocok untuk berbicara tentang psikologi, tetapi saya percaya setiap manusia mempunyai sisi MELANKOLIS, dan sekeras apapun manusia pasti memiliki titik retak. Di saat titik retak itu memecah, mengakar, dan membesar, terkadang di situ pula rasa depresi dating. Lambat laun kita akan merasa “tidak nyaman” dan akan menemukan solusi untuk keluar dari hal yang membuat kita depresi.
Ambil contoh, bila seseorang mengalami kecelakaan dan mengalami cedera kaki sampai tidak bisa berjalan, pasti selalu ada cara untuk mencari solusi agar tetap bergerak meskipun kita harus merangkak atau mencari topangan untuk sekadar membuat satu atau dua langkah. Menurut saya, sisi melankolis membawa rasa depresi, dan depresi mendorong kita untuk menjadi kreatif dan mencari cara untuk merealisasikan keinginan kita atau bahkan untuk stay alive.
Beberapa orang mendapatkan ide-ide briliannya ketika mereka berada di posisi bawah di dalam hidupnya, begitu juga para pelakon musik dan seniman-seniman. Ambil contoh, lagu post-hardcore favorit saya, “All We Love We Leave Behind” milik Converge. Kalau orang membaca liriknya, mungkin mereka bisa menebak bahwa Jacob Bannon bercerita tentang rasa sedihnya ketika ditinggal pasangannya.
Tapi ternyata lagu ini ditulis olehnya ketika dirinya ditinggal mati oleh anjing kesayangan yang dimilikinya bertahun tahun dan membuatnya sempat depresi atas kehilangannya. Aneh memang, tapi inilah kreativitas yang dipancing oleh depresi itu.
Mungkin semua yang saya tulis di atas hanya hipotesa pribadi. Tapi tunggu dulu, apakah benar depresi itu yang mendatangkan kreativitas? Atau malah sebenarnya kreativitaslah yang mendatangkan depresi?
Pernah saya membaca suatu rubrik di situs online yang menyatakan “Bukan depresi yang membuat seseorang menjadi kreatif, melainkan kreativitas itu yang mendatangkan depresi.” Seperti penyataan Nancy Andreasen, penulis The Creative Brain: The Science Of Genius. Dia menyatakan bahwa “Orang-orang yang lebih kreatif cenderung lebih susah beradaptasi ketika mereka berkonfrontasi dengan situasi baru, karena mereka lebih skeptis terhadap informasi atau masukan yang mereka terima, dan cenderung lebih suka membangun ide-ide untuk diri mereka sendiri dalam menghadapinya.”
Nancy juga menambahkan, “Fleksibilitas inilah yang membuat mereka (orang yang kreatif) mengerti hal-hal dengan cara yang baru dan berbeda, yang di mana menjadi kunci utama kreativitas itu sendiri. Bisa dilihat pula bahwa dunia di dalam diri mereka lebih kompleks, susah ditebak, dipenuhi bayang-bayang dan dipenuhi pertanyaan beserta jawaban. Berbeda dengan orang yang memiliki kreativitas rendah, mereka lebih suka merespons atau menanggapi suatu hal berdasarkan apa yang mereka ketahui dari beberapa orang, keluarga, guru, teman atau lingkungan.”
Berdasarkan pernyataan Nancy di atas, menurut saya “fleksibilitas” ini juga lah yang terkadang membuat orang kreatif tersebut cenderung lebih sering kecewa, terlebih jika hal yang mereka pikirkan tidak terealisasikan sesuai yang mereka pikirkan. Rasa kecewa itulah yang menjadi pintu masuk rasa depresi, dan di saat depresi datang, di situ pula kreativitas semakin meluap.
Pernah saya membaca pernyataan yang dibuat oleh Scott Barry Kaufman, psikolog Amerika yang menulis Scientific American, bahwa “Sepertinya kreativitas lah yang menjadi kunci pembuka gerbang banjir informasi. Kita tidak pernah tahu, terkadang koneksi antara kejadian teraneh di hidup kitalah yang membangkitkan kreativitas tersebut.”
Jadi, menurut kalian apakah kreativitas yang membawa rasa depresi? Atau sebaliknya? Apakah kalian termasuk orang yang memiliki kreativitas lebih?
*Foto ilustrasi Kurt Cobain oleh Discover Magazine
Please choose one of our links :