Close burger icon

HELLO THERE, SUPER USER !

Please Insert the correct Name
Please Select the gender
Please Insert the correct Phone Number
Please Insert the correct User ID
show password icon
  • circle icon icon check Contain at least one Uppercase
  • circle icon icon check Contain at least two Numbers
  • circle icon icon check Contain 8 Alphanumeric
Please Insert the correct Email Address
show password icon
Please Insert the correct Email Address

By pressing Register you accept our privacy policy and confirm that you are over 18 years old.

WELCOME SUPER USER

We Have send you an Email to activate your account Please Check your email inbox and spam folder, copy the activation code, then Insert the code here:

Your account has been successfully activated. Please check your profile or go back home

Reset Password

Please choose one of our links :

The Shock Horror of Rock

Author :

Article Date : 02/11/2017

Article Category : Noize

Tiang guillotine ditegakkan di panggung. Di tengah gempuran lagu “I Love The Dead”, dua orang algojo dengan penutup wajah menyeret Alice Cooper ke arah tiang dan memaksa-nya berlutut. Setelah menempatkan kepala dan mengunci di antara kayu penjepit, sang algojo meraih tali penggantung mata pisau guillotine. Dalam waktu sepersekian detik setelah melepas tali, pisau besar itu terjun bebas menebas kepala Alice Cooper yang putus menggelinding di lantai panggung. Penonton sontak bersorak kencang merayakan momen horor tadi. Teriakan lebih menggila lagi ketika vokalis bernama asli Vincent Furnier ini muncul kembali dari balik panggung meneruskan penampilan sampai akhir lagu.

Eksekusi menebas kepala hanya salah satu dari sederet aksi teatrikal yang ditampilkan di setiap konser Alice Cooper. Dengan make-up meyerupai mayat, masih ada aksi lain yang tidak kalah bikin bergidik macam menggantung diri, menghancurkan boneka bayi dengan palu, membawa ular boa raksasa sepanjang hampir 7,5 meter ke atas panggung dan sebagainya. Sejak awal dekade 70-an, Alice Cooper dikenal dengan sebagai salah satu pionir shock rock, sub-genre musik rock yang menampilkan aksi panggung dramatis dengan pengaruh elemen horor, okultisme bahkan satanisme. Walaupun awalnya hanya ditampilkan sebagai hiburan visual, tapi setiap generasi musisi/band baru muncul selalu menampilkan aksi horor lebih menakutkan dari sebelumnya.

[bacajuga]

Musisi pertama yang tercatat membawa elemen horor dalan penampilannya mungkin bisa disebut Screamin’ Jay Hawkins. Vokalis kulit hitam asal Ohio, AS ini dikenal dengan aksi panggungnya yang muncul dari peti mati memakai jubah, kostum kulit macan dan membawa mikrofon dihias kepala tengkorak manusia ala pendeta Voodoo. Mengeluarkan karakter vokal ekspresif dari menggeram, menjerit hingga meracau bak kesurupan, vokalis bernama asli Jalacy Hawkins ini menjadi ikon musik rock lewat hit “I Put a Spell On You” di tahun 1956. Track legendaris ini kemudian dibawakan oleh musisi titisan penerusnya seperti The Cramps, Alice Cooper, Rob Zombie, dan Glenn Danzig.

Pengaruh Screamin’ Jay Hawkins melebar ke dataran Inggris dengan munculnya Screaming Lord Sutch (nama asli David Edward Sutch) dari London yang menduplikasi aksi tema horor di panggung bersama band-nya The Savages di dekade 60-an. Lalu ada vokalis flamboyan Arthur Brown yang meroket dengan hit “Fire”, diambil dari album The Crazy World of Arthur Brown, diproduseri Pete Townshend dan Kit Lambert tahun 1968.

Aksi panggung Brown selalu bermasalah dengan banyak promotor konser karena sering memakai helm baja yang menyemburkan api. Ditambah memakai cat muka ala penyihir (yang nantinya ditiru Alice Cooper dan Kiss) dan sering tampil bugil, ia lebih sering mengundang kontroversi sehingga diberi sebutan 'The God of Hellfire' oleh media.

Tapi yang melegitimasi subgenre shock rock ke dalam sejarah musik mungkin bisa dibilang Alice Cooper, sejak awal dekade 70-an hingga sekarang. Menampilkan kolaborasi efek lampu, tata suara juga properti panggung yang kompleks, Alice Cooper membawa penonton konsernya ke dunia teror surealis penuh darah dan kegelapan. Musik yang diusung pun jauh lebih agresif dan mencekam, membawa tematik paralel dengan unsur visual di atas panggung.

Melaju ke pertengahan 70-an, KISS menggebrak peta musik rock dengan konsep teatrikal lebih megah lagi. Menyaksikan konser KISS menjadi semacam ritual untuk para penggemarnya. Seolah dibawa ke alam di mana personelnya menjelma menjadi mahluk fantasi seperti ‘The Demon’ (bassis Gene Simmons) yang menyemburkan api dan darah dari mulut, ‘The Starchild’ (Paul Stanley) yang membawa aura dekadensi, ‘The Spaceman’ (gitaris Ace Frehley) yang melepaskan energi kosmik, dan ‘The Cat’ (drummer Peter Criss) dengan kekuatan primal. KISS menawarkan mimpi dan fantasi yang hanya bisa dirasakan sensasinya di konser mereka. Walaupun tidak sepenuhnya menyeramkan, tapi KISS menjadi salah satu progenitor shock rock.

Di tahun 1977, seorang anak muda penggemar komik sci-fi dan film horor asal New Jersey bernama Glenn Danzig membentuk band The Misfits bersama temannya, kakak beradik Jerry Only (bass) dan Doyle (gitar) bersama drummer Manny Martinez. Walaupun hanya merilis dua album bersama Danzig, tapi The Misfits menjadi nama paling berpengaruh dalam ranah shock/horror rock. Kental dengan nuansa hardcore punk, The Misfits menderu menembus hingga awal dekade 80-an dengan lagu-lagu klasik bernarasikan tentang hantu, monster, alien dan dunia kematian. Sejak awal mereka sudah membedakan diri dari scene punk rock, dengan tampil dalam kostum tengkorak, gaya rambut devilock dan make-up terinspirasi dari tokoh hantu dalam film seri horor tahun 1946, The Crimson Ghost. Misfits membantu melahirkan subgenre lain seperti psychobilly yang menggabungkan elemen horor dalam konsep dan image musiknya.

Dekade 80-an tidak kekurangan musisi dan band yang menggelar konsep horor teatrikal baik di album, image dan konsernya. Subgenre gothic (yang merupakan salah satu cabang post punk) menjalar ke berbagai penjuru Eropa dan Amerika. Band seperti Siouxsie & The Banshees, The Damned, The Cure, Christian Death, Sex Gang Children, Southern Death Cult (The Cult) dan lainnya tampil dengan image dan musik mengusung konsep obsesi tentang kematian.

Lalu ada WASP yang dikomandoi vocals Black Lawless, membawakan glam rock dengan sentuhan shock/horror. Tema lirik lagu tulisan Lawless berkisar tentang kekerasan dan imaji seksual. Setelah merilis single pertama, “Animal (Fuck Like A Beast)”, WASP selalu menuai kontroversi baik dari album sampai ke dekorasi konsernya yang mirip ritual pagan dipenuhi penari wanita setengah telanjang.

Seolah berkompetisi untuk tampil lebih ekstrem, musisi rock pengusung shock/horror terus mendorong batas tabu di sepanjang dekade 80-an. Bahkan nekat terjun langsung bersentuhan dengan ilmu hitam, paganisme dan satanisme. Musisi black metal asal Denmark, King Diamond dengan band-nya Mercyful Fate membawa tema pengabdian, pengorbanan dan dedikasi sebagai satanis. Album Don’t Break The Oath menjadi blueprint black metal di dekade berikutnya. Seperti yang pernah dibahas di salah satu artikel di SuperMusic.ID tahun lalu, Mercyful Fate bersama sejumlah band lain seperti Death SS, Hellhammer, Venom dan Bathory membangun pondasi image black metal yang diikuti oleh generasi baru – mayoritas asal Skandinavia, di awal dekade 90-an. Image didorong ke arah lebih ekstrem dengan corpse paint, darah, pyrotechnic dan mutilasi fisik di panggung. Musik yang disajikan juga dibuat ultra cepat dan super agresif. Seolah dibuat untuk jadi soundtrack musik di neraka.

Berkembangnya teknologi informasi dan internet sepanjang 90-an juga menjadi era di mana kontroversi musisi shock/horror rock menjadi konsumsi publik internasional. Tahun 1994 muncul Marilyn Manson yang langsung menjadi musuh masyarakat nomor satu. Tidak cuma dari musiknya, tapi juga aksi di atas dan di bawah panggung.

Dibawah asuhan Trent Reznor (Nine Inch Nails), Marilyn Manson dengan cepat meraih predikat band paling kontroversial karena pernyataannya yang menentang ajaran Kristiani, anjuran penggunaan narkoba dan kritik pedasnya terhadap norma masyarakat yang kaku dan konvensional. Aksi panggung seperti membakar bendera Amerika, merobek halaman injil, dan melakukan pelecehan seksual saat manggung mengundang gelombang protes keras, tuntutan hukum bahkan ancaman pembunuhan. 

Kedekatannya dengan Anton Le Vey (pendiri sekte Church of Satan di AS) makin menempatkan dirinya di bawah sorotan lampu negatif. Puncaknya mungkin adalah saat kasus pembantaian Columbine Highschool tahun 1999 dimana 2 orang siswa senior menembak mati 12 orang siswa lain dan mengaku sebagai penggemar berat musik Marilyn Manson. Fakta ini juga yang diakui dirinya sendiri baru-baru ini sebagai penyebab penghambat kariernya.

Masih ada sederet nama band yang membawa konsep horor teatrikal yang tumbuh subur di dekade 90-an. Di lini industrial ada band seperti Skinny Puppy, Ministry, White Zombie, dan Rammstein yang muncul dengan misi tidak hanya untuk mengagetkan pendengarnya, tapi juga menampilkan realita dunia distopia yang semakin absurd dan penuh teror. Belum lagi band yang tampil dengan kostum monster seperti GWAR, Lordi dan Green Jelly seolah menjadi cermin refleksi karakter publik. Juga band metal seperti Slipknot, Murderdolls, Mushroomhead, The Mentors dan The Locust tidak hanya merepresentasikan individu personil tapi juga para pendengarnya yang agresif dan haus kekerasan.

Pada akhirnya horror/shock rock sudah jauh berevolusi, tidak hanya sekadar menjadi label genre tapi menjadi senjata strategi untuk musisi/band menyampaikan misinya pada pendengar. Di era derasnya arus informasi seperti sekarang, di mana batas kontroversi semakin didorong jauh dan nilai tabu dalam masyarakat semakin memudar, akan semakin sulit untuk band/musisi mengangkat konsep shock/horror. Walaupun berisiko menyeret mereka pada publikasi negatif, tapi setidaknya menempatkan standar kreatifitas lebih tinggi lagi untuk dicapai.

PERSONAL ARTICLE

ARTICLE TERKINI

Tags:

#Eka Annash #Shock Rock #Horror #horror punk #Black Metal #Alice Cooper #Screamin' Jay Hawkins #Arthur Brown #Kiss #Misfits #Marilyn Manson

0 Comments

Comment
Other Related Article
image article
Noize

Rudolf Dethu: Muda, Bali, Bernyali

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Perilaku Individu Musik Indonesia di Era ‘Baby Boomers’ dan ‘Gen X’

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Yulio Piston: Tentang Menjadi Pengkritik Musik

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Sudah Saatnyakah Indonesia Punya Rock ‘n Roll Hall of Fame?

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Acum Bangkutaman: Mencari Band Buruk yang Berpengaruh

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Berkeliling Eropa Bersama Morgensoll dalam Eternal Tour 2023

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Pentingnya Paham Soal Hukum dalam Industri Musik

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Musisi Bertopeng dan Budaya Asalnya

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Menebak-nebak Masa Depan Vinyl Indonesia

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Catatan Perjalanan: EHG Forever, Forever EHG!

Read to Get 5 Point
image arrow
1 /