Tahun 2013, saya bertemu dengan Steve Rennie di MIDEM Music Conference & Festivals di Cannes, Perancis. Pada sesi seminarnya “Building Artist Career In Today’s Music Business”, ia menjelaskan bahwa beberapa tahun ke depan (sekarang sudah terjadi) band dapat langsung melakukan semuanya sendiri. Seperti lebih mudah menjangkau pendengar tanpa naungan label, mengedarkan karya melalui kanal-kanal distribusi digital dan band memiliki ruang gerak yang jauh lebih fleksibel serta bebas berkolaborasi. Sebagai musisi independen, tentu saja hal tersebut menjadi titik cerah.
Semua terlihat saat penggunaan media sosial begitu marak lima tahun belakangan. Awalnya, sosial media digunakan sebagai tempat berinteraksi antara musisi dan pendengar. Pendengar musik tidak lagi merasakan kenyataan jarak saat para idola mengunggah foto, video dan menyapa mereka secara real time. Itu baru dari segi interaksi promosi dan branding. Artis sudah bisa pasang ads, atau iklan berbayar untuk mempromosikan produk mereka, atau bahkan hanya sekedar meningkatkan jumlah likes foto/video, serta menambah jumlah followers/subscribers. Sudah tidak ada lagi persyaratan-persyaratan rumit untuk berpromosi, selama masih di akun sendiri.
Menjamurnya agregator digital juga memudahkan musisi mendistribusikan karya ke berbagai platform musik digital. Ketika musisi sudah merasa bisa memproduksi album/single dengan baik, masuk ke situs agregator musik, upload audio dan cover, isi biodata, bayar via kartu kredit atau layanan bank digital, dan.. voila! Seminggu atau dua minggu kemudian, lagu sudah tersedia puluhan toko musik digital. Perkara laku atau enggak, ya nanti saja, yang penting Aku Berkarya, Maka Aku Ada.
Hingga kini, saya mengerti dan menyaksikan sendiri bahwa inilah yang dimaksud Renman saat ia mencetak kaos FTGK! “Fuck The Gate Keeper” yang dibagikan saat seminarnya di MIDEM. Musisi seakan tidak butuh para penjaga gerbang yang sebelumnya dianggap bisa mengendus kesuksesan atau kegagalan suatu karya. Musisi bisa memiliki otoritas penuh menentukan dan merilis karya tanpa siapa pun yang menyeleksi. Musisi dapat menjadi decision maker dan final executor atas karya sendiri, jika mereka mau. Mereka bahkan bisa saja membuat label sendiri, memilih produser musik sesuka hati, atau bahkan memproduseri album sendiri.
T-shirt FTGK
Meledaknya berbagai jenis rilisan, banyaknya artis baru yang bermunculan, keluarnya pakem-pakem musik dari kotak yang di-‘mainstream’-kan, seakan menjawab kegelisahan musisi di dekade sebelumnya: ‘apapun harus approval’ dan ‘mau rilis masih nunggu antrian’. Bahkan, dengan beragamnya platform digital membuat artis bisa menciptakan dunianya sendiri, viral, dan membangun basis fans militan. Pendengar musik juga sudah tidak mau lagi didikte dengan apa yang ada di media arus utama. Mereka sibuk mencari kesenangan sendiri melalui playlist-playlist atau dari sumber-sumber yang mereka anggap keren. Keren adalah segalanya!
Meski seminarnya sudah berakhir tujuh tahun lalu, pernyataan Renman belum basi. Dia menegaskan bahwa di era inilah musisi dituntut benar-benar memahami strategi manajemen dan promosi karena di masa depan tidak akan ada lagi para penjaga gerbang yang menentukan langkah-langkah mereka. Contohnya “Oh, ini karyamu belum bagus. Kami tidak bisa rilis yang ini”, atau “Musik kalian tidak trendy, sepertinya pasar tidak akan suka”. Saat obrolan santai usai seminar, ia berujar bahwa tidak semua orang label benar-benar memahami musik.
The band is the boss. Hell, yeah! Musisi bisa terjun bebas di belantara hutan rimba yang ganas dan langsung dihakimi oleh pendengarnya lewat kalimat-kalimat jahat di kolom komentar. Mengerikan sekaligus menggairahkan! Kita bisa saja bersenang-senang sekarang. Hingar bingar dunia digital memang sungguh melenakan. Kita merayakannya lewat borbadir akun dengan berbagai post, dari konten sampah hingga bermanfaat dunia akhirat. Semakin kreatif dan unik kontennya, maka ialah yang mampu mencuri perhatian. Semua menjadi seru, tapi selalu saja ada tantangan baru.
Platform yang tadinya hanya sebagai tempat untuk promosi, menyuarakan pemikiran, tempat band mengabarkan kegiatan, ternyata sudah bisa sampai ke tahap berikutnya: monetizing. Kanal Youtube, Facebook, Instagram, hingga Tiktok, membuka akses monetizing musik yang diputar di sana. Musisi yang sejak awal mengamankan aset sosial media dan brand-nya, melihat ini menjadi lahan baru yang bisa dieksplorasi sekaligus menambah pemasukan. Namun, jika musisi luput mengamankan nama brand serta aset digitalnya, maka ia akan kesulitan atau kehilangan peluang untuk membangun eksistensi di dunia daring.
Ketika ranah digital ternyata menjadi begitu mengasyikkan dan menyenangkan, tentu saja akan ada gatekeeper(s) baru yang bermain. Ketidakpahaman musisi soal infrastruktur industri musik bisa menjadi jebakan baru. Pemahaman terhadap ruang lingkup kerja berbagai lapis industri musik perlu ditingkatkan. Jika label rekaman bergerak cepat beralih fungsi menjadi manajemen artis, maka bukan tak mungkin kali ini agregator digital yang juga beralih fungsi menjadi gatekeeper.
Siapa pun yang akhirnya memiliki akses masuk ke ranah media yang bisa diuangkan akhirnya akan terpikir melakukannya, akhirnya gatekeeper bentuk baru bermunculan. Tidak lagi mempersoalkan batasan bagus atau tidaknya sebuah karya, tapi mempersoalkan seberapa banyak konten yang bisa kamu buat untuk diuangkan. Gerbang sudah dibuka, pastikan kamu yang pegang kuncinya.
Lalu apa yang bisa dilakukan oleh musisi di industri ini? Yah, rajin latihan dan terus membuat lagu adalah saran yang terdengar old school. Pertama, yang harus dilakukan adalah mengamankan semua aset, baik fisik maupun digital. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di masa mendatang. Namun, melihat begitu menggilanya konten beredar di dunia digital dan bagaimana sosial media berperan besar di industri musik global, menandakan sepertinya era ini akan berlangsung panjang.
Ini seperti gelombang tsunami yang akan terus bergerak ke daratan dan menenggelamkan semua yang tidak siap dengan perubahan. Kita masuk di era dimana hukum berkejar-kejaran dengan alam. Banyak hal baru terjadi, hukum mengatur kemudian. Ini era yang keras untuk industri musik Indonesia maupun dunia, dan akan lebih keras di masa-masa mendatang. Bertarunglah sambil berpesta!
Please choose one of our links :