Author :
Article Date : 13/06/2019
Article Category : Noize
Indonesia, negara yang demografi dan sosio kulturalnya beragam, begitu juga dengan musiknya. Dari yang tradisional, pop menye-menye sampai indie pop, hiphop, rock, hardcore/punk dan extreme metal seperti grindcore, death metal, semua ada di tanah pertiwi.
Saat semakin berkembangnya teknologi di era internet semuanya berkembang pesat. Kualitas materi sampai produksi dari band-band dari barat semakin meningkat, baik dari segi panggung maupun album. Sentralisasi musik sudah tidak lagi milik pulau Jawa. Hampir setengah dekade belakangan, saya seringkali dikejutkan oleh band- band asal Sumatera, Kalimantan hingga timur Indonesia dengan kualitas produksi dan performance bagus; ini berlaku untuk genre musik apapun.
Terjerumus di liga musik cadas sejak awal abad 21, kali ini akan saya kerucutkan ke konteks musik cadas dengan gerakan bawah tanah, walau istilah ini cukup bias karena hampir tidak ada batas antara band lini bawah dan lini atas. Burgerkill, Jasad, Deadsquad, Hellcrust dan kroni-kroninya bahkan selalu dapat slot di acara musik bergenre heterogen, berbagi panggung dengan band-band pop dan rock yang lebih ramah di kuping. Pentas seni, ulang tahun suatu kota dan acara berskala masif dengan sponsor brand besar.
Orang tua saya bahkan sempat tidak percaya saat Deadsquad pertama kali manggung di acara HUT ibu kota. Dari balita sampai orang lanjut usia hadir di perhelatan tahunan ini. Mereka datang diam-diam dan menonton anaknya memainkan musik yang sukar diterima telinga awam. Komentar orang tua saya sebelumnya cuma, “Emang ada yang nonton musik teriak-teriak enggak jelas kaya yang kamu mainin?”
Kenyataaannya massa yang datang terbilang banyak dan spesifik ingin menonton Deadsquad dan band cadas lain yang main hari itu. Setelah penampilan perdana di acara itu, tahun-tahun berikutnya Deadsquad dan band-band penghancur “ketenangan” lainya kembali diundang.
Flashback ke era 90-an, Wendi Putranto AKA Wenz Rawk (jurnalis dan penulis buku Music Biz) yang memulai karir dari fanzine fotokopi (istilah kerennya xeroxed) Brainwashed menuturkan pengalamannya menjadi bagian dari skena 90-an. Berikut komentar Wendi soal fenomena banyaknya band extreme musick yang bisa berbaur dengan band yang lebih ringan di telinga.
“Mungkin karena genre musik heavy metal/extreme metal di Indonesia adalah salah satu jenis musik yang menjadi pionir rock bawah tanah sejak dekade pertengahan 80-an. Sehingga saking sudah lamanya sekarang fanbase dari genre metal ini di Indonesia sangat besar dan tersebar di berbagai kota/daerah di Indonesia.
Awalnya jenis musik extreme metal ini kalo di Jakarta dulu berkembangnya di pensi-pensi SMA seperti PL Fair (Pangudi Luhur), Kresikars (SMA 82), Pamsos (SMA 6). Mereka tampil berbagi panggung dengan band-band pop, jazz, blues dan lainnya. Ditambah lagi dengan venue seperti Poster Cafe dulu (Museum Satria Mandala), setiap ada gigs pasti selalu menampilkan various genres. Penonton jadinya terbiasa nonton gig dengan band-band yang campur aduk genre musiknya. Ini lama kelamaan jadi sebuah tradisi sampai sekarang.”
Ferly, gitaris Jasad, band death metal yang berdiri dari awal 90-an, mengalami evolusi dan juga formasi serta sempat merasakan pengalaman membantai panggung di beberapa festival musik Eropa juga memberi komentar saat saya bertukar pikiran akan fenomena lirik seperti “Urine Campur Nanah“ dengan vokal guttural growl ala Man bisa dinyanyikan ribuan penonton seperti Synchronize Fest (acara multi genre) dan mereka bermain di prime time. Berikut komentar kang Ferly Suferly akan fenomena di mungkin hanya terjadi di Indonesia jika dibandingkan dengan semua negara di Asia, bahkan Jepang sekalipun.
“Kalo liat eksistensinya, mereka lebih dulu lahir sebelum kita-kita, tapi mereka secara kebetulan hype-nya waktu itu kurang dibanding era kita. Era kita ngebomb banget soalnya pas dimana generasi baru sedang jenuh sama band-band yang ada. Mereka pertama membagi selera dari hardcore ke death metal.
Gue yakin kondisi bisa balik nanti, di mana band di luar death metal menjadi headliner. Dengan kondisi seperti ini band-band ‘legenda’ nya tidak terlalu banyak riders yang musti dipenuhi.”
Menurut dia, band-band punya strategi yang mungkin berbeda. Band- band extreme music saat ini memilik agenda terstruktur, contoh: punya akun social media aktif dengan content menarik terutama seputar pre-album. Buat generasi baru, Ferly juga memberi sedikit saran:
“Intinya band rock, thrash, heavy, speed dan sub-sub lainnya terutama new gen, coba networking-nya dirambah lebih luas, produktif bikin materi, rekaman jangan tergiur godaan software studio yang justru bikin blunder. Bikin album yang vibe live-nya dominan, antara recording dengan live jangan jomplang jauh. Jangan copycat band-band bule, lu copycat langsung di-skip sama scene.“
Stevi Item, gitaris Deadsquad dan Andra & The Backbone yang beberapa kali jadi juri festival rock juga mengatakan dalam setiap titik festival pasti ada saja band-band cadas dari death metal, thrash metal juga hardcore/punk yang ikut. Saat saya menanyakan soal semakin banyak dan beragamnya band cadas juga extra cadas di acara musik berkala nasional, inilah komentar Stevi.
“Gue rasa seiring menguatnya kebutuhan media sosial hari ini, kesempatan untuk hal yang sebelumnya enggak pernah ada di media mainstream menjadi terbuka. Baik pemegang konten atau audience tanpa batas. Kecenderungan hal apapun menjadi viral, kecepatan publikasi dan persebarannya sangat tinggi, terjadi sehari hari di manapun apalagi di negara dengan populasi yang sangat padat seperti Indonesia.
Maka musik ekstrim atau musik yang enggak populer pun punya chance besar untuk bersaing dengan musik genre lain atau musik mainstream. Bahkan di kasus lain, yang non populer menjadi sangat terkenal sehingga mengalahkan demand yang populer dalam waktu singkat.
Musik ekstrim di Indonesia sebenarnya bukan hal baru tapi, fenomena band atau musisi musik extreme menjadi headliner di festival musik kaliber internasional tidak lepas dari peran media sosial dan para influencer yang mampu menggiring opini audience sehingga tercipta demand. Maka para kurator festival pun dengan yakin menyusun band musik ekstrim dalam list headliner. Basic rule of business: supply and demand. Se-simpel itu.”
Saya juga meminta pendapat akademisi yang masih aktif dalam penerbitan buku musik, Kimung AKA Iman Rahman Anggawiria Kusumah dari Minor Books. Saya bertanya akan fenomena bagaimana lirik gelap, sarkastik, sinis bahkan gore dengan vokal growl/scream bisa dinyanyikan bersama, sudah selayaknya pertunjukan band pop dengan massa yang ikut menyanyikan tembang vokalis dengan suara yang relatif merdu.
“Ini sebabnya aku selalu bilang kalo ‘underground’ sudah mati seiring lahirnya internet. Para ‘Pangeran Kegelapan’ yang dulu misterius dan sakral tertutup kabut bawah tanah, sekarang jadi banal tersingkap oleh sinar terang dari handphone saat dinyalakan dan kita googling mencari band paling underdog dari kota terujung dunia sekalipun.
Kegelapan sudah mati, begitu juga sakralitas. Era keterbukaan sudah menggantikan ketertutupan. Eksklusivitas jadi rancu di jaman ini, tergantikan inklusivitas. Kesangaran attitude musik ekstrim lebih mudah dipahami kini sebagai gimmick belaka dan pemahaman ini menenangkan para orang tua. Para orang tua masa kini yang juga sama sama mendengar musik ekstrim di masa mudanya. Mereka yang mungkin seumur dengan saya, dan tumbuh bersama atau setidaknya memahami bagaimana kultur musik ini merebak di Indonesia sekitar 30 tahun sebelumnya.
Yang tak kalah penting adalah pembangunan opini di media mengenai ranah musik ekstrim sebagai pelopor ekonomi kreatif Indonesia. Saya rasa momen yangg sangat berpengaruh di Bandung adalah pergulatan penandingan opini media pasca tragedi AACC 2008. Itu pertaruhan yang sedikitnya kita menangkan secara nasional bahkan internasional, di balik kehilangan kita atas 11 anak muda. “
Tak lupa saya juga bertukar pikiran dengan Eben Burgerkill akan fenomena aneh ini, karena dia sudah pernah menjadi bagian dari salah satu event metal terbesar di planet bumi yaitu Wacken Open Air dan Bloodstock. Sebagai perbandingan, band-band Jepang yang memainkan extreme music dan sudah banyak main di festival Eropa/Amerika Serikat susah sekali mendapatkan panggung open air seperti Budokan. Mungkin standarisasi mereka adalah band punk sekelas Hi-Standard.
Eben berkomentar bahwa industri musik independen Indonesia sudah jauh lebih berkembang dan inovatif, baik dari segi produksi album dan performa panggung. Kuantitas massa juga sangat banyak dan fans di Indonesia juga lebih loyal jika dibandingkan dengan penggemar musik mainstream. Mereka membeli rilisan musik ,bukan pembeli lagu seperti penggemar musik mainstream. Fans musik ekstrim rela mengeluarkan uang membeli tiket acara, mengejar band-nya manggung, membeli rilisan fisik dan merchandise official band-band yang mereka suka. Hal ini membuka mata para EO/ festival musik di Indonesia untuk memasukan band tak “ramah telinga” di acara berskala besar, berbaur dengan band mainstream. Menurut Eben, pelaku musik ekstrim saat ini sudah bisa disejajarkan dengan band mainstream. Inilah kenyataannya.
Musik bawah tanah Indonesia sudah ada sejak era 90-an dan semakin menggeliat setelah era Reformasi. Majunya media sosial membantu gerak skena. Ilmu dan informasi yang dulu sukar didapat menjadi lebih mudah di era ini. Faktor inilah yang membuat skena semakin maju di segala aspek. Walau kadar “perlawanan” mungkin sedikit meluntur, tapi semangat menyuplai massa dengan musik perusak gendang telinga tidak akan pernah luntur.
Foto: Dokumentasi SUPERMUSIC
Please choose one of our links :