Close burger icon

HELLO THERE, SUPER USER !

Please Insert the correct Name
Please Select the gender
Please Insert the correct Phone Number
Please Insert the correct User ID
show password icon
  • circle icon icon check Contain at least one Uppercase
  • circle icon icon check Contain at least two Numbers
  • circle icon icon check Contain 8 Alphanumeric
Please Insert the correct Email Address
show password icon
Please Insert the correct Email Address

By pressing Register you accept our privacy policy and confirm that you are over 18 years old.

WELCOME SUPER USER

We Have send you an Email to activate your account Please Check your email inbox and spam folder, copy the activation code, then Insert the code here:

Your account has been successfully activated. Please check your profile or go back home

Reset Password

Please choose one of our links :

Daniel Mardhany

Author :

Article Date : 09/09/2019

Article Category : Noize

Jika musik adalah tatasurya/galaksi, saya akan memilih menjadi astronot/pilot semacam Han Solo dan berpetulang menjalajahinya, mengungkap berbagai misteri dan melepaskan dahaga akan rasa keingintahuan dalam aneka eksplorasi dan berbagai macam ekspedisi tersebut. Karena pada dasarnya eksplorasi merupakan salah satu naluri dasar manusia,sebagaimana yg dilakukan para penjelajah di masa lalu seperti Columbus untuk menemukan Negeri Paman Sam dan para penjelajah lain di masa lampau juga para "explorer" masa kini yang terus melakukan eksplorasi ke dalam lautan dengan dasar yg masih menjadi misteri sampai keluar atmosfer bumi, ke bulan, atau Mars misalnya.

Saya bukanlah pribadi yang sangat senang traveling dalam bentuk harafiah, tapi saya sangat senang melakukan petualangan lintas musikal dengan orang/tim yang berbeda, dengan rute dan tujuan berbeda, dan pastinya dengan hasil yang berbeda pula. Jika musik saya analogikan sebagai kendaraan, maka kendaraan yang saya pakai juga berbeda pula. Misalnya untuk rute A dengan tim A, mungkin saya pakai pesawat ala semacam Millenium Falcon, rute B dengan tim B mungkin pakai mobil Back to the Future, rute C dengan timnya, mungkin saya pakai kuda dan mungkin juga untuk suatu misi saya pakai awan kinton/karpet aladin.

Ada suatu sensasi dan prestasi subjektif buat diri saya sendiri dengan apa yang dihasilkan dari petualangan tersebut. Posisi saya di semua band saya anggap sebagai kolaborator. Baik dalam proses kreatif, visi, dan misi sampai penentuan estetika dan pembentukan citra band/proyek tersebut. Kalo dihitung, mungkin sejak saya mulai ngeband dari tahun 2000-an kayanya saya udah pernah melakukan berbagai macam ekspedisi dengan 100 lebih manusia yang berbeda. Ada yang gagal, ada juga yang cukup berhasil, dan ada yang menurut saya berhasil. Bagi saya itu semacam seleksi alam saja. Toh pengalaman yang saya dapat lebih mahal dari biaya yang saya keluarkan untuk sewa studio dan akomodasi. Saya tak pernah menyesali belasan atau puluhan band/projek saya yang gagal di masa lalu.

Dari situ saya belajar skema membentuk suatu projek dengan goal utama kepuasan kolektif dan menghasilkan rilisan fisik, karena saya sendiri masih ortodok dalam menikmati karya musik, yaitu dengan mengkonsumsi rilisan fisik seperti kaset, CD, dan vinyl di tengah dominasi era digital. Rilisan fisik masih menjadi kebutuhan primer dan digital adalah sekunder agar saya tahu perkembangan musik saat ini atau menggali artefak musik masa lampau yang sulit dicari bentuk fisiknya. Di satu sisi musik digital saya akui memang mempermudah kita dalam urusan mendengarkan musik tapi untuk "menikmati"  sensasi memegang, meraba, melihat sampul album, estetika, credit title dan lirik di dalamnya sambil mendengarkan suatu album tidak tergantikan bagi saya. Masalah utama emang menguras uang dan memakan tempat. Tapi saya menikmati kompleksitas di era pragmatis saat ini. membuat saya pribadi tetap merasakan kenikmatan layaknya mendengarkan kaset medio saya SD.

Balik lagi ke ranah musikal atau sebut saja band, jika band adalah sebuah film, maka saya punya peran dengan karakter yang berbeda juga tanggung jawab porsi yang berbeda-beda dalam setiap proyek. Walaupun lakon yang paling sering saya perankan adalah sebagai vokalis dan menggurat lirik yang sesuai/selaras untuk kebutuhan musik band tersebut. Di Deadsquad, lirik saya lebih ke ranah sosio-kultural, kecemasan dari pengalaman pribadi dan kebencian/keresahan akan keadaan dunia saat ini yang memang sedang tidak baik-baik saja, atau lebih tepatnya sedang sakit. Karakter vokal saya di DS juga saya tentukan dengan karakter musik band yang sedang dalam tahap menyicil materi album baru. Karakter saya lebih dominan middle growl dengan paduan guttural growl & scream untuk bagian lagu tertentu, demi menguatkan nyawa dari lagu tersebut. Membuat musik technical death metal yang kompleks ala Deadsquad menjadi terdengar catchy dan memancing pendengar untuk bisa sing along layaknya band rock/pop adalah tugas, tanggung jawab, dan tantangan saya.

Kalau di unit chaotic-math black metal saya, Kala, semua lirik sengaja diambil dari buku Necronomicon karya H.P. Lovecraft dan dalam bahasa Sumeria, karena menurut saya pas dan cocok untuk kebutuhan musik Kala dan ini ruang ekspresi saya untuk menumpahkan minat saya akan literasi dan sejarah. Walaupun tidak semua bahasa Sumeria itu saya mengerti hahaha. Itung-itung proses belajar dan rasa ingin tahu saya akan budaya kepercayaan Zoroaster (agama /kepercayaan Freddy Mercury) itu berasal.

Proyek terbaru saya adalah Bloodriven. Unit brutal death metal dengan style musik ala Belanda awal abad 21 dengan tema gore/serial killer. Proyek AKAP (antar kota antar provinsi) ini terdiri dari saya yg berdomisili di Pamulang, Januaryo (Perverted Dexterity, Pure Wrath) di Cikarang dan Yogi (Viscral) di Bekasi. Butuh effort untuk bertemu karena jarak, tapi teknologi komunikasi yang semakin berkembang menjadikan jarak bukan halangan. Kami hanya briefing dan brainstorming via group Whatsapp . Saya mengirim lirik dan aplikasikan dengan riff gitar Ryo, lalu dimatangkan dengan isian drum Yogi, sampai akhirnya CD single "Otnamus" dimuntahkan label Brutal Mind dan mendapatkan respons yang cukup baik untuk band yang belum pernah berkumpul dalam studio dan latihan bersama, haha.

Setiap band punya metode yang berbeda dalam proses kreatifnya dan cara ini lebih efisien untuk band yang rekaman di tiga kabupaten yang berbeda ini, haha. Karakter vokal saya di sini juga berbeda dengan band saya lainya. Di sini saya menggunakan karakter guttural growl untuk menyelaraskan lirik dan musik band yang sedang dalam tahap pembuatan EP.

Di Dieroboter saya "bermain" gitar dengan "cara" yang biasa. Nama band yang diambil dari lagu Kraftwerk ini mengindikasikan bahwa kiblat band yang manggung cuma kalau lagi pengen doang ini adalah "Jerman" dengan referensi band-band krautrock. Saya berkolaborasi dengan dua personel Strange Fruit dan mantan drummer Matiasu dan Aksiterror.

Saya dengan seorang teman lama banget: Bony eks Deadsquad/Hellcrust/Tengkorak/Thrashline juga mempunyai proyek crossover grind dengan nama Berbahaya yang sempat merilis split album dengan Speedkill dalam format CD 3 inci (umumnya CD adalah 5 inci) dan juga dirilis dalam format kaset. Nasib band ini sekarang sedang dalam tahap ngumpulin mood untuk kembali ke studio. Jumlah lagunya udah cukup untuk full album, tapi mood kami belum cukup untuk kembali ke studio karena berbagai kesibukan personel.

Dari semua band/proyek saya, mungkin yang paling "nyeberang" adalah Roman Catholic Skulls. Di album ketiga salah satu proyek Marcel Thee yang merupakan otak dari Sajama Cut. Jangan harap ada unsur Sajama Cut atau band-band saya lainya ketika kalian mendengarkan album terbaru Roman Catholic Skulls yang sedang dalam tahap finishing.

Kami merekam apa saja yang bisa kami rekam untuk kebutuhan komposisi dari intrumen musik sampai suara non musikal seperti suara gesekan rantai, binatang, kucuran air, suara ketukan tenaga kerja pembangunan rumah, engsel pintu dan lainnya.
Beberapa teman yang sudah mendengarkan RCS dengan format sekarang berpendapat bahwa ini seperti scoring film. Semacam soundscape/backsound untuk kebutuhan suatu visual/adegan dalam suatu film. Di artikel ini untuk pertama kalinya materi proyek yang awalnya beranggotakan Marcel dan Danif (Kalimayat) ini saya perdengarkan untuk publik (walaupun ini belum merupakan hasil final dari segi tata suara).

Di sini saya tidak banyak membahas proyek solo saya, Bisinggama, karena saya merekam semua instrumen dan vokal seorang diri dan tak ada unsur kolaborasi dengan manusia lain dalam pembuatan album perdana Bisinggama yang dirilis di tahun 2018, demi kepuasan saya pribadi dan sebagai titik ukur keterbatasan kemampuan saya dalam media kebebasan berekspresi milik saya semata wayang. Tapi saya mempunyai niat mencari additional untuk kebutuhan konsep album Bisinggama selanjutnya yang akan jauh berbeda dengan album pertama yang memang tidak ramah telinga, haha.

Untuk kolaborasi, sebagai musisi tamu yang paling berkesan buat saya adalah ketika saya berbagi rima dengan rapper idola saya, Ucok AKA Morgue Vanguard dalam lagu "Dan Biarkan Menghitam" juga dengan Suri untuk lagu "The Fracas" yang terdapat di album terbaru mereka, Waham. Personel Suri mempercayakan saya membuat lirik utuh dan menyumbang teriakan pekik dengan pattern vokal yang saya tentukan untuk keseluruhan lagu yang berdurasi 10 menit 25 detik tersebut, dan membebaskan saya bereksperimen membuat sampling untuk bagian intro lagu dengan tema syahwat dengan nuansa sludge tersebut. Dalam proses ini saya merasa sudah seperti personel ke-4 band yang sebelumnya memang sudah sering melibatkan saya untuk kebutuhan panggung.

Untuk musik elektronik saya terlibat di album Parakuat, Fundamental of Desire. Di track pembuka album dengan lagu yang berjudul "Ion (modular version)". Di sini untuk pertama kalinya saya bernyanyi "normal" dan suara fales saya terdengar gamblang.

Satu lagi: kolaborasi lintas negara. Salah satunya yang berkesan buat saya adalah dengan The Kandarivas, unit experimental grindcore asal Tokyo, Jepang. Saya dua kali melakukan kolaborasi untuk proyek album. Yang pertama dalam format kaset dan diedarkan di Jepang dan Indonesia. Yang kedua, untuk full album mereka yang akan dirilis dalam di akhir tahun ini via salah satu label underground terbaik di Jepang, Obliteration Recs.

Karena band ini banyak bermain dengan eksperimen, maka saya beradaptasi melakukan sesi rekaman vokal juga dengan berbagai experimen. Vokal saya rekam dengan output ampli gitar yang ditodong mic lagi dengan berbagai stompbox seperti fuzz dan beberapa efek modulasi. Kolaborasi ini juga berlanjut di berberapa panggung Kandarivas di Jepang dan saat mereka manggung di Indonesia. Mungkin jika "timing"-nya pas saya akan meng-iya-kan ajakan mereka untuk tur jepang bersama mereka dalam rangka promo album baru mereka yang akan dirilis tidak lama lagi, dan itu akan menjadi pengalaman baru yang menyenangkan buat saya, melakukan tur bersama band yang berbeda negara dan budaya.

Karena konon hidup cuma satu kali, maka masih banyak banget sekali wacana, rencana, rute petualangan musikal yang menjadi agenda/destinasi saya seperti shoegaze, ska, electronic, industrial, hardcore punk, sampai folk pop ala Belle and Sebastian. Semua konsep sudah ada di kepala saya tinggal menunggu waktu yang tepat, mencari personel yang cocok dan yang menyelesaikan masalah utama, yaitu meng-upgrade "kemampuan" musikal saya untuk memainkan genre  tersebut, haha.

Jangan pernah mager berkarya dan melakukan apa yang kalian suka dan yakini. Dalam seni, jelek atau bagus hanyalah persepsi, sangat relatif juga subjektif. Misalnya tidak semua karya seniman sekaliber Warhol, Basquiat, Banksy mutlak bagus di mata setiap orang, tapi di sisi lain ada yang mengagumi dengan cara yang "berlebihan" dan di luar akal sehat. Hal paling fundamental dalam seni atau musik bagi saya pribadi adalah memuaskan diri sendiri. Jika mendapatkan respons yang bagus atau tambahan materi dari suatu karya anggap aja sebuah bonus

PERSONAL ARTICLE

ARTICLE TERKINI

Tags:

#Kolaborasi #kolaborasi musik #Daniel Mardhany #Side Project #DEADSQUAD #kala #bloodriven #dieroboter #berbahaya #roman catholic skulls #bisinggama #suri #parakuat #the kandarivas

0 Comments

Comment
Other Related Article
image article
Noize

Rudolf Dethu: Muda, Bali, Bernyali

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Perilaku Individu Musik Indonesia di Era ‘Baby Boomers’ dan ‘Gen X’

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Yulio Piston: Tentang Menjadi Pengkritik Musik

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Sudah Saatnyakah Indonesia Punya Rock ‘n Roll Hall of Fame?

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Acum Bangkutaman: Mencari Band Buruk yang Berpengaruh

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Berkeliling Eropa Bersama Morgensoll dalam Eternal Tour 2023

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Pentingnya Paham Soal Hukum dalam Industri Musik

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Musisi Bertopeng dan Budaya Asalnya

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Menebak-nebak Masa Depan Vinyl Indonesia

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Catatan Perjalanan: EHG Forever, Forever EHG!

Read to Get 5 Point
image arrow
1 /