Close burger icon

HELLO THERE, SUPER USER !

Please Insert the correct Name
Please Select the gender
Please Insert the correct Phone Number
Please Insert the correct User ID
show password icon
  • circle icon icon check Contain at least one Uppercase
  • circle icon icon check Contain at least two Numbers
  • circle icon icon check Contain 8 Alphanumeric
Please Insert the correct Email Address
show password icon
Please Insert the correct Email Address

By pressing Register you accept our privacy policy and confirm that you are over 18 years old.

WELCOME SUPER USER

We Have send you an Email to activate your account Please Check your email inbox and spam folder, copy the activation code, then Insert the code here:

Your account has been successfully activated. Please check your profile or go back home

Reset Password

Please choose one of our links :

Stephanus Adjie: Hidup Untuk Musik Atau Musik Untuk Hidup? (DOWN FOR LIFE DAN PEKERJAANNYA)

Author :

Article Date : 12/03/2021

Article Category : Noize

Sebenarnya saya agak canggung untuk menulis dan bercerita tentang band sendiri, karena takut jatuhnya seperti narsis dan sombong. Meski sebenarnya tidak ada yang bisa disombongkan juga. Tapi di sisi lain lebih mudah, tidak perlu riset lagi karena sudah menjadi pengalaman bahkan sejarah hidup saya. 

Tidak terasa down for life sudah berjalan 22 tahun, sudah bisa dikatakan dewasa kalau seorang manusia atau tua untuk ukuran band. Lebih dari 2 dekade, kami jatuh bangun untuk terus memanaskan mesin perang ini dalam ranah musik keras yang berliku dan memang keras. Dan sampai sejauh ini kami harus jujur bahwa down for life tidak dapat membiayai kehidupan kami sehari – hari. Band ini masih baru sebatas bisa menghidupi kehidupan bermusik down for life nya sendiri. Mimpi menjadi rockstar yang bergelimang harta dan wanita seperti yang ditampilkan Motley Crue, KISS, Rolling Stones dan sederet band besar lainnya, hanya menjadi angan – angan. Kami harus realistis agar tetap hidup sebagai musisi sekaligus manusia. Mungkin hal ini juga dirasakan dan dialami oleh band musik keras lainnya di Indonesia juga di seluruh dunia. Kami masih menjadi weekend band warrior, belum bisa menjadi full time band, meski mungkin bisa dikatakan sebagian bisa menyebut sebagai full time musician, karena pekerjaan sehari–harinya masih berhubungan dengan musik. Beberapa mantan personil telah memutuskan mundur dan harus memupus mimpinya dengan memilih pekerjaan di luar aktivitas musik yang mungkin lebih bisa memberi kepastian penghasilan. Ya itu adalah pilihan masing – masing dengan segala konsekuensinya. 

Saat ini down for life terdiri dari Rio Baskara dan Isa Mahendrajati sebagai gitaris, bassis Mattheus Aditirtono, drummer Muhammad Abdul Latief dan saya sebagai vokalis sekaligus personil terlama yang masih bertahan. Usia kami sudah tidak bisa dikatakan muda lagi. Mattheus, atau kami lebih sering memanggilnya Mamat biar lebih gampang aja, adalah anggota yang paling muda 28 tahun dan saya yang paling tua, tahun ini saya genap 44 tahun. Tua juga ya ternyata.. Zlatan Ibrahimovic memanggil saya “Mas Adjie”. Dengan usia ini sudah pasti kami seharusnya hidup mandiri dan tidak lagi bergantung pada orang tua. Bahkan beberapa sudah berumahtangga, Isa baru saja menikah akhir tahun lalu dan Latief malah sudah mempunyai 2 anak. Saya personil paling tua yang belum menikah, sementara Rio pernah menikah tapi kemudian berpisah. Mamat merencanakan menikah di pertengahan tahun ini. Dengan kondisi itu sudah pasti kami harus bertanggung jawab baik kepada diri sendiri dan keluarga. Mengharapkan uang dari down for life? Amin.. itu harapannya tapi kenyataan untuk saat ini seperti yang saya tulis diatas, bahwa down for life belum bisa menghidupi kehidupan kami sehari – hari. 

Ketika kondisi normal sebelum pandemi, saat job manggung sebulan rata – rata 2 – 4 kali sebulan, sebenarnya cukup lumayan untuk menambah penghasilan meski tidak bisa dikatakan cukup tapi setidaknya sangat membantu. Tapi ketika pandemi mendera otomatis tidak ada penghasilan dari manggung. Dari merchandise? Itu masuk ke kas band untuk keperluan penting saat dibutuhkan seperti rekaman dan menutup biaya produksi lainnya. Dari hasil streaming? Waduh..kecuali yang mendengarkan lagu kami di platform digital itu sudah jutaan atau milyaran mungkin akan terasa hasilnya. Bahkan seorang Gene Simmons dari KISS pun mengatakan sharing keuntungan dari layanan streaming ini secara tidak langsung membunuh industri musik rock/metal. Kami sebenarnya sangat beruntung karena tidak sepenuhnya mengandalkan penghasilan dari band. Bahkan sebelum bergabung di down for life, kami sudah mempunyai pekerjaan lain di luar band. Harus diakui hilangnya penghasilan dari manggung ini juga berimbas secara finansial. Kami terpaksa menggunakan uang tabungan untuk memenuhi kebutuhan hidup pada awal pandemi.

Rio Baskara tinggal di Solo bersama orang tuanya yang mengelola rumah kost. Tapi dia tidak bergantung pada bisnis keluarganya itu. Rio sempat keluar dari down for life pada tahun 2013 ketika memutuskan bekerja pada perusahaan trading yang membuatnya harus bolak balik Indonesia Malaysia. Meski gajinya cukup besar tapi setahun kemudian dia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan kembali bermain bersama down for life. Kata Rio, “Gaji sih enak tapi aku merasa tidak menjadi diriku yang sesungguhnya. Buat apa punya uang banyak tapi tidak bahagia? Ya pasti sih lebih bahagia kalo punya uang banyak dan jadi diri sendiri..hahaha.” Iyalah pasti kalo itu. Sebelumnya Rio sempat mencoba usaha clothing tapi tidak berjalan dengan baik. Bersama Isa, mereka membuat usaha strap gitar dari kulit bernama Dath, yang masih berjalan sampai sekarang meski Isa sudah tidak terlibat lagi. Dath ini juga merambah ke produk lain yang terbuat dari kulit seperti tas dan ikat pinggang. Tahun 2017, Rio bertemu Toein Bernadhie Radix Akassa, pemilik dari Radix Gitar, dan menawarkankan membuat gitar custom sendiri di luar merk Radix. Rio berujar, “Aku pengen kayak Eddie Van Halen yang punya brand ampli sendiri, punya brand gitar sendiri juga menarik.” Dari situ terwujudlah brand gitar baru bernama Havoc pada tahun 2017 lalu. Havoc ini dibuat berdasarkan ide, konsep, desain dan prototype yang dibuat Rio yang kemudian diproduksi secara massal Toein di pabrik Radix di Tangerang. Selain gitar, Havoc juga membuat bass, yang keduanya sudah dipasarkan di Eropa. Rio selalu menggunakan Havoc dalam setiap manggung sejak 2017 dan menyusul Isa setahun kemudian. Rekaman album keempat down for life keduanya juga menggunakan Havoc. Ini menjadi bisnis usaha Rio yang dijalani sampai sekarang. Selain itu, sejak awal tahun 2021 Rio sedang menjajaki menjadi seorang tattoo artist. Ini cukup aneh sebenarnya, karena dia tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Menurut ceritanya, sepulang dari rekaman di Jakarta, ketika melakukan rutinitas di toilet, dia merasa mendapat semacam wahyu untuk menjadi tattoo artist. Setelah itu dia langsung membeli alat tattoo dan tinta dari luar negeri secara online. Sambil menunggu alat itu datang, Rio mempelajari teknis tattoo dari YouTube dan internet. Baru berjalan 2 bulan, Rio sudah banyak membuat tattoo dan terus mengasah kemampuannya dalam seni rajah tubuh ini. Meski saya sendiri belum yakin untuk di tattoo oleh dia.. Hehehe. Ketika ditanya kenapa tidak mau pengajar gitar, “Wah aku tuh gak bisa ngajarin orang daripada malah emosi. Bubrah!”

Berbeda dengan Rio yang tidak mau mengajar musik, Latief dan Mamat sehari – hari adalah pengajar musik. Ini mereka lakukan sebelum bergabung dengan down for life. Latief, membantu down for life di awal 2014 dan paa 2015 resmi menjadi drummer tetap, ini pernah menjadi juara 1 Indonesian Rock Drummer Competition yang diadakan oleh Yamaha Music pada tahun 2011, semenjak itu dia mulai aktif mengajar kursus drum di beberapa sekolah musik di Solo. Tahun 2012 Latief sempat menjadi drummer additional untuk Souljah, dia sempat meninggalkan kuliahnya dan menetap ke Jakarta selama 10 bulan. Jadwal promo yang padat membuat kegiatan mengajar terbengkalai. Kemudian dia memutuskan kembali membangun karir mengajar dan bermusik di Solo. Saat bergabung di Ahmad Dhani School of Rock ada pengalaman lucu. “Aku pernah dapat murid orang Korea yang tidak berbahasa Inggris apalagi Indonesia. Jadi selama 1 tahun aku ngajar pake google translate,” ujarnya. Selain di down for life, Latief juga bermain drum regular bersama band cover khusus rock di beberapa café di Solo dan sekitarnya. Tapi jadwalnya sangat berkurang, bahkan hampir tidak ada karena pandemi. Hal ini juga dialami dengan kegiatan mengajarnya. Sebelum pandemi, bersama istrinya yang juga seorang drummer, Latief membuat tempat kursus sendiri tapi karena pandemi membuat muridnya berkurang drastis, yang tentu berimbas pada penghasilannya ditambah tidak ada manggung bersama down for life. Latief memutar otak dan berinovasi dengan mengajar secara online dan private langsung datang ke rumah muridnya atau di studio miliknya. Secara perlahan akhirnya bisnis mengajarnya berjalan stabil dan secara keuangan bisa dikatakan cukup aman. Menurut Latief menjadi pengajar ini selain mendapatkan penghasilan juga mengasah kemampuannya bermain drum, karena mau gak mau setiap hari dia harus bermain drum. Katanya, “Mengajar itu juga nambah ilmu dan melatih kesabaran. Sulit sih gak. Gampang juga gak.” Kalau bagi saya sangat susah, beberapa kali ada yang meminta saya untuk mengajar teknis vokal metal dengan growl, scream dan sebagainya, tapi saya menolaknya karena bingung gimana ngajarinnya.

Mamat, bersama Latief, mungkin yang bisa dikatakan adalah musisi profesional dengan latar belakang pendidikan musik secara akademis. Lulus SMA, Mamat mendapat beasiswa di Academy of Music and Performing Art di Sidney Australia. Di sana selain menimba ilmu di kampus, dia juga beberapa kali menjadi teknisi/ roadie untuk beberapa artis. Salah satunya menjadi roadie untuk band pengiring Pink saat bermain di Sidney. Mamat juga sempat bermain bersama band lokal, Mercury Sky, di Sidney dan juga melakukan tur di beberapa kota di Australia. Sepulang dari Australia, dia membuat band D’Ark Legal Society dan bergabung dalam band progresif rock bernama Pentagressive dan proyek solo Matterpretation. D’Ark Legal Society berhasil menjadi juara di festival Planetroxx dan membawa mereka bermain di sebuah festival musik di Kanada. Mamat yang memang bertekad hidup dari musik ini, sempat bekerja di sebuah rumah produksi untuk mengerjakan musik latar dan jingle. Tapi itu tidak bertahan lama karena kantor tempat dia bekerja itu tutup. Dia kemudian memutuskan untuk mengajar musik. Saat ini Mamat menjadi pengajar di beberapa sekolah musik seperti Bina Musik Jakarta, Yamaha, Relasi dan International Design School juga mengajar musik secara private. Mamat juga sempat mengajar musik di beberapa sekolah SMP dan SMA. Di awal pandemi menurutnya juga memang sempat mengalami kesulitan tapi dengan memanfaatkan teknologi yang ada, malah sekarang muridnya lebih banyak daripada sebelum pandemi. Selain mengajar, Mamat juga mengerjakan beberapa jingle untuk iklan, film dan program acara. 

Sebelum bergabung dengan down for life, Isa mempunyai band bernama End Of Julia. Dia juga sudah bekerja sebagai bagian dokumentasi dan videographer untuk band Endank Soekamti. Kemampuan dalam hal video dan editing dipelajarinya secara otodidak sejak lulus SMA. Dia kemudian sempat bergabung ke dalam rumah produksi, Euforia, milik Erix Soekamti selama beberapa tahun, tapi kemudian memutuskan menjadi freelance. Karena agak susah baginya membagi waktu kalau harus bekerja di kantor dengan jam kerja yang rutin setiap hari dengan kegiatan bermusik. Sampai sekarang Isa masih mengerjakan proyek dari Endank Soekamti, bahkan juga sering menjadi tokoh dalam video band punk dari Yogyakarta ini. Dia juga menerima pekerjaan video lainnya. Beberapa video garapannya adalah video klip Iwan Fals, Slank, Nidji dan lainnya. Ketika pandemi pasti pekerjaan di bidang video juga sangat berkurang, dia bersama istrinya kemudian membuat usaha minuman ringan sejenis bubble tea/ boba di Yogyakarta, bernama OL Drink, yang dikenal menyebut pelanggannya sebagai Pasukan Boba Neraka.. hahaha. 

Sekarang giliran saya. Sebelum pindah ke Jakarta, saat di Solo, saya bersama beberapa sahabat membuat kolektif event bernama the ThiNK yang mengerjakan beberapa event seperti Rock in Solo dan Pesta Partai Barbar, tapi tidak terlalu aktif lagi setelah pindah ke Jakarta. Bersama Ahmad ‘Jojo’ Ashar , mantan bassis down for life yang sekarang berada di balik layar band, dan Jahlo Gomes, kami membuat rockshop dan clothing line bernama Belukar League yang sudah berjalan sejak tahun 2003 sampai sekarang. Bisnis merchandise inipun juga mengalami pasang surut. Ketika awal pandemi kami terpaksa mengurangi jumlah karyawan. Tapi syukurlah sekarang perlahan mulai membaik meski belum bisa dikatakan pulih seperti dulu. Saat ini saya juga bekerja di demajors radio. Selama pandemi harus siaran dari rumah dan dengan terpaksa juga mengalami rasionalisasi gaji. Dengan tidak ada pendapatan dari manggung dan pengurangan gaji, tentu itu membuat saya kelabakan. Blackandje mengajak untuk mengurusi kanal media informasi musik keras di Instagram bernama @blackandzine dan membuat program “Jumat Membara”. Jujur saya sebenarnya sangat gagap teknologi termasuk dengan sosial media. Tapi pandemi membuat saya harus berani mencoba dan belajar untuk memaksimalkan semua potensi yang ada termasuk berdamai dengan teknologi. Sekarang saya sedang menjalankan program sepakbola “Pandit Soccer” di Instagram @beraniadaptasi. Cukup menarik, aktivitas saya yang sebelumnya banyak bersifat offline bergeser ke online

Pandemi memang membuat banyak aktifitas dan tentunya pendapatan terganggu. Menjadi musisi musik keras yang sudah susah di Indonesia menjadi semakin susah di era pandemi. Tapi itu bukan alasan untuk menyerah kalah atau hanya mengeluh dan menggerutu menyalahkan keadaan atau orang lain. Dengan kreatifitas, inovasi dan beradaptasi pasti bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat. Berpikir dan kerjakan dulu, berhasil atau tidak itu urusan nanti. Pokoknya wani..josss..!

 

Jakarta, 16 Februari 2021 

Stephanus Adjie

PERSONAL ARTICLE

ARTICLE TERKINI

Tags:

#supernoize #stephanus adjie

0 Comments

Comment
Other Related Article
image article
Noize

Rudolf Dethu: Muda, Bali, Bernyali

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Perilaku Individu Musik Indonesia di Era ‘Baby Boomers’ dan ‘Gen X’

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Yulio Piston: Tentang Menjadi Pengkritik Musik

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Sudah Saatnyakah Indonesia Punya Rock ‘n Roll Hall of Fame?

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Acum Bangkutaman: Mencari Band Buruk yang Berpengaruh

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Berkeliling Eropa Bersama Morgensoll dalam Eternal Tour 2023

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Pentingnya Paham Soal Hukum dalam Industri Musik

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Musisi Bertopeng dan Budaya Asalnya

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Menebak-nebak Masa Depan Vinyl Indonesia

Read to Get 5 Point
image arrow
image article
Noize

Catatan Perjalanan: EHG Forever, Forever EHG!

Read to Get 5 Point
image arrow
1 /