Halo, Superfriends, bertemu lagi. Ini merupakan bagian kedua dari tulisan saya tentang kondisi skena permetalan di tanah air paska pandemi. Ya, anggap saja pandemi sudah berakhir dan kita memasuki masa endemi. Setelah di bagian pertama membahas tentang trinitas alias tiga raksasa cadas Indonesia, di bagian kedua ini akan lebih luas lagi dengan situasi yang tentu sudah berubah.
Satu hal menarik dalam situasi yang bisa dikatakan tidak menentu ini adalah pergerakan di skena bawah tanah musik keras yang terus menggeliat dan seperti kembali ke khitahnya, dengan semangat independen yang membara. Setelah dalam satu dekade terakhir musik keras seperti naik kelas berada di jalur utama dengan gelimang dukungan korporasi besar. Kini upaya mandiri dan swadaya, yang menjadi salah satu dasar dari gerakan bawah tanah, menjadi hal yang jamak dilakukan, terutama oleh pelaku skena.
Bleach, band hardcore dari Bandung yang sedang menanjak, adalah salah satu band yang melakukan hal ini. Meski diterpa isu miring—dari cap sebagai hardcore gaul, mengikuti gaya Turnstile dan lainnya—rupanya tidak membuat mereka mengendur dan malah seperti menjadikannya amunisi untuk terus berkibar. Seperti juga halnya Pure Wrath, one man project dari Bekasi, yang juga melakukan hal yang sama. January Hardy, mastermind band atmospheric black metal ini kemudian mengemas proyeknya dalam format band dan menggelar tur di Jawa dan Bali. Setelah merilis album baru bertajuk Bloodlines, band hardcore kelas berat dari Yogyakarta, Serigala Malam, juga langsung menghajar jalanan dengan serangkaian tur.
Hal ini juga saya lakukan bersama Down For Life. Setelah hampir tiga tahun tanpa panggung langsung dengan penonton yang bebas, kami seakan balas dendam dengan mengadakan Post-Apocalypse Tour 2022. Sebelumnya, di akhir tahun 2021 lalu, kami sempat menggelar A Journey of Rock in Solo: Apokaliptika. Namun, karena masih dalam situasi PPKM yang cukup ketat membuat penonton dibatasi dan harus duduk jaga jarak. Tentu berbeda dari panggung biasanya.
Jadi tur ini semacam perayaan hampir berakhirnya pandemi dan menyambut endemi. Kami sudah berjalan di tiga kota dan mulai bulan Juli sampai Oktober, tercatat sudah ada 20-an jadwal panggung yang menunggu. Kami merencanakan rangkaian tur sampai Desember tahun ini bila memungkinkan.
Banyak teman-teman yang menanyakan bagaimana sistem yang dilakukan agar tur bisa terselenggara bahkan tanpa dukungan korporat atau sponsor besar. Memang hal ini bagi kami juga merupakan hal baru yaitu dengan sistem sharing ticket atau bagi hasil dari penjualan tiket pertunjukan. Saya pribadi mengetahui cara ini saat beruntung bisa menonton konser Slayer di Nijmegen, Belanda di tahun 2016. Saya berpikir bagaimana cara membayar Slayer yang pasti bayarannya sudah miliaran rupiah per manggung? Apalagi dengan kapasitas venue Doornroosje yang hanya bisa menampung 500-an penonton saja dan harga tiket sekitar 400 ribuan dalam kurs rupiah. Konser juga tanpa sponsor.
Setelah saya bertanya dan mencari tahu, ternyata Slayer menggelar tur di Eropa dengan booking agent yang mengatur jadwal mereka di sepanjang musim panas. Booking agent inilah yang membayar kontrak Slayer selama tur musim panas di Eropa. Mereka yang bernegosiasi dengan promotor festival dan venue live house.
Selama hampir dua bulan Slayer bermain di beberapa festival pada akhir pekan yang tentu dengan bayaran mahal, sementara pada tengah pekan mereka bermain di live house dengan sistem bagi hasil penjualan tiket dengan pihak venue. Semua hal ini sudah diatur oleh booking agent karena tidak memungkinkan dan akan membutuhkan biaya sangat besar kalau Slayer harus bolak balik Eropa-Amerika setelah manggung di akhir pekan. Hal ini juga berlaku untuk hampir semua band, yang mengatur adalah booking agent mereka.
Sistem ini bisa dikatakan sangat adil bagi kedua belah pihak yaitu antara booking agent dan penyelenggara. Kalau di Indonesia, booking agent masih belum menjadi hal yang umum. Komunikasi yang kerap terjadi adalah antara pihak band dengan penyelenggara langsung. Ini juga yang saya lakukan di Down For Life, meski dibantu oleh RIS Dead Cartel yang sedang mencoba menjadi booking agent.
Jadi, dalam tur kami ada dua opsi pembayaran yaitu harga spesial tur yang berbeda dari published rate dan sistem bagi hasil tiket. Dengan sistem bagi hasil ini, kami dibayar berdasarkan jumlah tiket yang terjual dengan persentase sesuai kesepakatan. Hal ini tentu ada risiko bagi kedua belah pihak apabila penonton tidak sesuai target. Tapi itu adil.
Kalau penonton ramai kedua belah pihak sama-sama untung, kalau sepi, ya, sama-sama rugi. Jadi kedua belah pihak mempunyai tanggung jawab dan hak yang sama.
Dalam tur, sebuah band bisa menyiasati dengan subsidi silang dari konser yang lebih ramai atau bayaran dari acara lain yang lebih besar, penjualan merchandise, hingga dukungan sponsor. Sistem ini menjadikan band dan penyelenggara mempunyai posisi tawar yang seimbang.
Menggelar tur mandiri memang tidak mudah, tapi juga bukan hal yang tidak mungkin. Diperlukan kerja keras dan strategi yang tepat. Banyak hal positif yang didapat sebenarnya dari sini, antara lain band akhirnya dapat melihat pasar dan penggemarnya dengan nyata dari jumlah penonton yang datang membeli tiket untuk menonton band kesukaannya. Namun kenyataan kadang tidak seindah ekspektasi, tapi itulah kenyataan, Superfriends.
Hal lain yang bisa didapat adalah menjalin jejaring dengan skena kota yang disambangi dalam tur. Membangun jejaring untuk membangun industri secara bersama-sama. Bagi saya ini sangat menarik, saya bertemu dengan band dan teman baru yang luar biasa dari setiap kota-kota tersebut. Dalam tur, band juga dapat membina ikatan dengan penggemarnya secara langsung. Bonus lainnya dengan menggelar tur adalah bukti eksistensi bahwa band masih berkarya dan aktif, ini membuat promotor dan event organizer tertarik untuk mengundang.
Selain itu, dengan tur yang masif dan sukses juga dapat menarik minat sponsor untuk bekerjasama dengan mendukung tur. Ini tentu sangat membantu secara pembiayaan. Kalau bagi saya, tur mandiri bukan berarti anti terhadap sponsor tapi terbuka bekerjasama dengan semua pihak selama saling menguntungkan. Tur adalah bentuk promosi paling ideal bagi band terutama band musik keras. Sangat menarik bukan, Superfriends?
Zaman sudah berubah, sepertinya tidak bisa hanya menunggu untuk diundang main tapi harus aktif bergerak. Saatnya kembali memanaskan mesin perang dan melindas jalanan. Ayo tur dan bersenang-senang, Superfriends!
Image source: Shutterstock
Please choose one of our links :