Author :
Article Date : 18/10/2020
Article Category : Super Buzz
Mungkin, jika ada penobatan musisi rock alternatif yang paling alternatif, bisa-bisa Nine Inch Nails jadi salah satu kandidat terkuat untuk ajang tersebut. Mengusung genre industrial rock untuk benang merah pada musiknya, Nine Inch Nails memang terkenal sering membubuhi setiap karyanya dengan elemen eksperimen dan eksplorasi tanpa batas.
Dibentuk di tahun 1988 di Ohio, Amerika Serikat, Nine Inch Nails merupakan sebuah persona lain dari seorang musisi serba bisa bernama Trent Reznor. Trent Reznor mendirikan Nine Inch Nails sebagai sebuah grup musik atau band dan hingga kini dirinya merupakan salah satunya anggota permanen di dalam tubuh Nine Inch Nails sejak pertama kali dibentuk. Barulah di tahun 2016, Nine Inch Nails mengumumkan anggota tetap lainnya, Atticus Ross. Trent Reznor merasa sulit untuk menemukan anggota band tetap yang dapat berkontribusi untuk melahirkan karya-karya yang ideal untuk Nine Inch Nails. Selama masa aktifnya, seluruh aransemen musik Nine Inch Nails dalam sesi rekamannya dilakukan oleh Trent Reznor, kecuali pada bagian drum. Namun kini, Trent Reznor sudah menemukan pasangan yang tepat untuk Nine Inch Nails.
Sebelum berprofesi sebagai musisi, Trent Reznor merupakan seorang karyawan di sebuah studio rekaman bernama Right Track Studios milik Bart Koster. Hubungan baik di antara keduanya, memberikan keuntungan bagi Trent Reznor terhadap kelahiran Nine Inch Nails. Trent diberikan keleluasaan untuk dapat mengisi studio di saat jadwalnya kosong. Dari situlah, Trent mulai merekam materi demo untuk Nine Inch Nails. Berhasil membuat karya yang diinginkannya untuk Nine Inch Nails, Trent memoles beberapa materi demo tersebut hingga akhirnya digunakan sebagai amunisi album pertamanya berjudul Pretty Hate Machine.
Namun, jika berbicara mengenai Nine Inch Nails, akan sulit mengindahkan fakta bahwa karya terbaik dari isi kepala Trent Reznor ini hadir di album keduanya, berjudul The Downward Spiral. Album kedua Nine Inch Nails yang rilis di tahun 1994 ini merupakan album penuh yang membuat nama Nine Inch Nails dapat dikenal ke khalayak yang lebih mainstream. Ide tentang album kedua Nine Inch Nails ini hadir di dalam kepala Trent Reznor saat seusai festival Lollapalooza di tahun 1991 berakhir.
Dalam pengerjaan album The Downward Spiral milik Nine Inch Nails, Trent Reznor menyatakan bahwa karya-karya yang tersaji di dalam albumnya tersebut tercipta berkat inspirasi dari musik-musik musisi legendaris, David Bowie dan Pink Floyd. Trent Reznor pun menambahkan bahwa tema The Downward Spiral sendiri merupakan sebuah bentuk progresi atau pengembangan dirinya sendiri secara mental terhadap apa yang terjadi di dalam hidupnya. Trent Reznor menginginkan sebuah narasi bersambung dari lirik-lirik yang ada di dalam album keduanya tersebut untuk dapat menceritakan tema besarnya.
Tema besar dari album The Downward Spiral sendiri cukup memiliki latar belakang yang kelam. Melalui tema tersebut, Nine Inch Nails mencoba untuk mengutarakan kisah-kisah tentang jatuhnya kondisi mental seseorang yang juga berkesinambungan dengan kerendahan diri, agama, penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan alkohol, seks, serta percobaan bunuh diri, hingga akhirnya membawa seseorang tersebut ke dalam kehampaan.
Tidak berhenti dengan bernarasi, Nine Inch Nails juga mencoba untuk merepresentasikan temanya ke dalam bentuk visual. Bentuk visual ini hadir melalui tur konsernya yang berjudul Self Destruct Tour. Didaulat sebagai konser promo album keduanya, tata panggung dari konser ini dirancang untuk memberikan kesan menyeramkan dan membuat orang yang datang merasa tidak nyaman.
Tata panggung didekor dengan penempatan kain-kain yang robek dan kotor mengelilingi seluruh areanya. Tidak jarang juga di konser ini, para anggota band menyakiti dirinya sendiri dengan atraksi-atraksi, seperti stage diving dan saling menyakiti satu sama lain. Nine Inch Nails juga sering secara sukarela merusak alat-alat musiknya di atas panggung. Aksi paling ekstrem Nine Inch Nails lakukan saat main untuk panggung Woodstock di tahun 1994. Ditonton oleh 24 juta pasang mata melalui layar televisi, Nine Inch Nails bermain musik di atas tanah lumpur yang mau tidak mau membuat mereka kesulitan dan mengotori panggung serta alat-alat musik mereka. Representasi visual ini dibuat Trent Reznor agar para penikmatnya mengerti bahwa setiap manusia memiliki proses pendewasaan yang cukup mengerikan dan menyedihkan. Bahkan tidak jarang juga nyawa jadi taruhannya.
Pada proses produksinya, Trent Reznor kembali bekerja sama dengan Mark Ellis alias Flood sebagai produser untuk album kedua Nine Inch Nails. Sedangkan untuk proses mixing, tanggung jawab sepenuhnya diberikan kepada Alan Moulder dan Sean Beaven. Hasilnya, The Downward Spiral berhasil membawa Nine Inch Nails menduduki posisi kedua di tangga lagu Billboard 200 di Amerika Serikat pada masa itu. Selain itu, album ini juga menjadi album dengan penjualan terbanyak bagi Nine Inch Nails. Album ini berhasil terjual sebanyak 4 juta keping di Amerika Serikat dengan total penjualan di seluruh dunia mencapai 5 juta keping. Keberhasilan album kedua Nine Inch Nails ini juga didukung berkat kehadiran dua buah lagunya yang digunakan sebagai soundtrack film. Pertama adalah single Burn yang digunakan sebagai soundtrack film Natural Born Killers dan sebuah lagu cover dari Joy Division yang berjudul Dead Souls untuk film The Crow.
Menurut para kritikus musik ternama, album kedua Nine Inch Nails ini merupakan album yang memiliki peranan penting dan pengaruh dalam pembentukan iklim industri musik internasional di era tahun 1990-an. Bahkan The Downward Spiral selalu masuk ke dalam kategori album sepanjang masa versi media-media musik arus utama mancanegara.
Please choose one of our links :