Author :
Article Date : 27/01/2020
Article Category : Super Buzz
"Pullo terbentuk tahun 2016 di Medan oleh saya dan Gavin (drum), awalnya hanya project iseng karena kita suka band-band yang sama seperti Nine Inch Nails, Rammstein, Killing Joke, dan These New Puritans," ungkap Rally selaku vokalis dari Pullo. "Setelah beberapa kali masuk studio, lagu "Strained" mulai diproduksi dan dirilis di radio-radio lokal. Setelah tawaran untuk main diterima, kami mulai memikirkan personel untuk main secara live dan mengajak Faiz (gitar) dan Ranggi (bass) untuk mengisi kekosongan yang ada."
Dalam edisi pertama Under The Radar ini, kami akan membahas Pullo; nama segar halaman post-punk lokal asal Kota Medan. Resmi berdiri di tahun 2016 silam, kuartet ini mampu menyorot kerak-kerak dan gelambirnya spektrum gelap kehidupan manusia yang kerap dijauhi oleh arus utama, terutama dalam kacamata industri musik.
Semua itu, tentunya, dilakukan oleh Pullo dengan gubahan post-punk yang menawan. Ya, menawan; meski dengan treatment estetika yang gelap, sesak mencekam, hingga suram sekalipun. Tak bisa dipungkiri bahwa akan selalu ada godaan untuk menerka itu semua, mungkin karena kegelapan juga merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tak bisa ditepis eksistensinya.
Pullo, dengan musiknya, seperti sebuah hentakan yang seirama dalam melantangkan semua aspek tersebut; sebuah unit musik yang mengerti betul bagaimana menerjemahkan kekelaman dan menguak sisi-sisi kecantikannya. Tanpa make-up, tanpa acting. Bak awan mendung besar yang datang dari Pulau Sumatra, kala hujannya datang, lupakan sejenak payung-payungmu, bermuramlah bersama di bawah derasnya musik mereka.
Ketika ditanyakan terkait bagaimana mereka menjelaskan musik yang mereka suguhkan, Gavin angkat bicara. "Pada dasarnya (Pullo) memainkan musik yang bernuansa gelap dan mengawang, Rally yang di band sebelumnya memainkan genre jazz dan punk, menggabungkan ide chord-nya ke lagu-lagu post-punk pada awamnya. Rally kemudian menambahkan, "Gavin yang pada band sebelumnya (The Clays) emang memainkan musik post-punk sudah terbiasa untuk mengisinya."
Keduanya pun lanjut menjelaskan, "Bass yang low-end tone dan monoton serta gitar yang penuh dengan reverb dan delay oleh Ranggi dan Faiz menciptakan karakter dasar dari musik Pullo."
Tentulah, melalui gubahan musik serupa, mereka mampu mendorong pergerakan blantika musik lokal dengan warna baru. Uniknya, ketimbang melantang dari Jogja, Bandung, Jakarta, atau kota-kota lainnya yang sudah sewajarnya mengumpan musik baru nan segar, Pullo tidak datang dari dalam pulai Jawa. Justru, dari Sumatra; Kota Medan, lebih tepatnya.
Berbicara Kota Medan, SUPERMUSIC pun sudah menanyakan beberapa pertanyaan terkait bagaimana lokasi domisili mereka itu turut ambil peran dalam perwujudan Pullo sebagai sebuah unit musik yang tidak patut diremehkan. Kami bertanya tentang unsur lokal yang unik dari lokasi domisili mereka, yang turut serta membantu membentuk identitas Pullo sebagai sebuah unit musik. menjawabnya, Fariz turun tangan dan menjelaskan bahwa mungkin hadirnya terletak di balik mic sang vokalis.
"Mungkin logat sih ya?" paparnya. "Orang medan logatnya lebih kasar dibandingkan banyak kota lainnya di Indonesia, kami rasa itu yang membuat karakter vokal Rally lebih terasa berat dan kasar."
Masih dalam bahasan yang sama, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa setiap "lapangan bermain" seorang musisi atau band tak lekang terhadang oleh beberapa kekurangan. Medan, bagi Pullo sendiri, masih terbatas oleh kurangnya acara dan pelaku seni yang berkecimpung di dalamnya. Itulah faktor yang perlu ditingkatkan untuk mendorong kualitas industri dan proses berkarya di sana.
"Menurut kami yang perlu ditingkatkan dan diperbanyak adalah acara musik dan pelaku seninya sendiri agar tercipta persaingan yang sehat, bukan berarti mereka harus bersaing, tapi lebih ke bersemangat untuk lebih kreatif dan berkualitas daripada yang lainnya," tulis Gavin. "Selain itu Medan juga memerlukan apresiasi yang lebih tinggi dari penikmatnya, kami rasa apresiasi oleh penikmat musik di Medan sangat kurang dibandingkan kota-kota di pulau Jawa."
Kemauan yang kuat mampu menyikapi masalah yang ada. Itulah yang dipegang teguh oleh Pullo sebagai resep menghadapi keterbatasan yang hadir di lokasi domisili mereka. "Dihadapin dengan kemauan aja sih, ya," Ujar Rally seraya menjelaskan bahwa itu pun seperti sudah menjadi modal yang cukup.
"Asal mau dan niat, pasti ada jalan. Kami juga pada awalnya hanya iseng, tapi karena kemauan yang tinggi kami mencari tahu studio yang pas dengan musik kami, gigs-gigs kecil yang mau menerima genre kami, serta pemasaran yang tepat di lokasi kami. Sampai pada akhirnya, kami ditemukan "ibu" kami (Anida Bajumi dari label Ordo Nocturno) melalui Bandcamp dan kami mulai memasarkan musik kami di luar Medan," jelasnya lebih lanjut,
Kemauan menjadi kunci utama Pullo. Selebihnya, apapun permasalahan yang hadir, semua itu bisa diatasi. Jawaban rincinya bisa berbeda-beda; harus fleksibel menyikapinya. Yang pasti adalah, dalam konteks paling mendasarnya, semua harus berasal dari dalam diri sendiri.
Menutup wawancara ini, kami pun menyempatkan bertanya terkait apa rencana Pullo di tahun 2020 ini, yang kemudian dijawab oleh Fariz, "Saat ini Pullo sedang mengerjakan album yang rilisnya belum tahu kapan." Tidak sebatas album, merekapun terus membidik pasar yang lebih luas--hendak lebih sering bermain di luar Medan.
"Kami juga lagi memperbanyak panggung di luar Medan, jadi kalau mau ajak kami, ajak aja ya!" rangkumnya menutup.
Terbaru dari Pullo, adalah EP A Dark Belief sebagai mini-album nomor dua mereka. Dengarkan keutuhannya di bawah ini, dan kunjungi juga laman Bandcamp mereka di sini.
*Under The Radar adalah serial konten terbaru dari Supermusic yang menaruh fokus lebih pada aspek-aspek industri musik yang jarang tersorot, segar, dan berada di berbagai wilayah di Indonesia; meliputi para musisinya, kolektif dan komunitas, label rekaman, venue, hingga festival yang bergerak secara swadaya, dan tumbuh secara organik.
Please choose one of our links :