Bagi banyak band atau penikmat tentu ada rasa kagum luar biasa ketika melihat bagaimana The Hydrant, The Pompadour For paling kece asal Bali, sukses menaklukkan festival rockabilly kelas satu macam Viva Las Vegas, menjadi headliner di Cooly Rocks On Festival di Australia, atau menjajal panggung utama Pohoda Festival di Slovakia. Kepiawaian dalam bermain musik serta kualitas yang ternyata mampu menembus batasan-batasan geografis tersebut tentu sangat layak diberi tepuk tangan paling meriah.
Tidak hanya mereka, ada Senyawa dan Gabber Modus Operandi yang berkeliling banyak kota di Eropa dalam rangkaian tur panjang, pun dengan Noxa yang pernah menghajar panggung festival metal berskala gigantik sekaliber Obscene Extreme sampai Tuska Open Air, atau White Shoes and the Couples Company yang berkali-kali mendansakan masyarakat Eropa, dan tentu masih banyak lagi deretan musisi dari kancah independen yang dengan seru mengukir cerita-cerita menarik.
Satu kesamaan yang bisa diambil, atau yang paling utama dari esensi melaksanakan tur ke luar negeri adalah tentang membawa musik kepada pendengar yang sebelumnya belum pernah terjamah, minimal yang belum pernah menyaksikan secara langsung aksi-aksi hebat tersebut. Mengisi kantung-kantung peluang baru yang kesempatannya tidak datang dua kali, dan mengolahnya menjadi sebuah rencana yang bisa berlanjut dan berkepanjangan demi banyak hal di dalam tubuh si band itu sendiri.
Berasal dari Indonesia memang terkadang seperti teralienisasi. Masalah kualitas rasanya jadi nomor sekian ketika mulai menyadari bahwa bisnis musik di negara ini terasa begitu bobrok bila dibandingkan dengan negara-negara yang sudah lebih sustainable, baik itu dari segi teknis sampai bermacam urusan terkait dokumen dan administrasi. Banyak orang tentu sepakat kalau sederet band di sini memiliki cita rasa yang unik pula mencengangkan, namun hal tersebut berbanding terbalik dengan kolam yang menjadi tempat mereka harus berenang dan menjalani kehidupannya.
Contoh paling simpel, hampir tidak ada band di Indonesia yang menjalani rangkaian tur panjang menembus hari-hari kerja sampai akhir pekan seperti kebanyakan band di luar negeri. Tidak bisa disalahkan memang ketika band-band hanya mampu tampil di waktu senggang mereka, saat rehat sejenak dari kehidupan domestik. Skalanya juga beragam, dari panggung kolektif yang serba seadanya, pentas seni institusi pendidikan, sampai di bawah megahnya tata lampu panggung milik kapital raksasa.
Hal tersebut harus terjadi karena industrinya yang memang buruk. Faktornya banyak, tapi kalau mau disederhanakan mungkin sebagai berikut; pertama, pola bisnis label musik yang hidup segan mati tak mau; kedua, tidak adanya booking agent yang ajeg, konsisten dan memiliki jaringan kuat; dan, ketiga, tidak cukup banyak live house atau venue, kalau pun ada jumlahnya sedikit sekali dan jarang yang bisa bertahan sampai lebih dari belasan tahun.
Oleh karena itu, kemudian banyak anak band yang harus mengubur dalam-dalam mimpi mereka menjadi The Next Tommy Lee atau diva papan atas layaknya Adele. Mereka harus berkelindan dengan kehidupan masing-masing di luar riuh suara instrumen demi bisa mensubsidi silang kesenangan bermain di dalam sebuah band.
***
Kembali pada persoalan "go internasional" yang terdengar amat basi namun masih sering saja muncul, dan sayangnya masih banyak pula musisi yang menjawab "go internasional" sebagai cita-cita tertinggi mereka. Tentu saja niatan tersebut wajib diapresiasi, tapi pelaksanaan untuk sampai ke hal tersebut atau pengartiannya sendiri yang kadang rasanya masih sangat abu-abu.
Sebuah band yang sangat populer di dalam negeri dengan angka streaming gila-gilaan tidak serta-merta akan mendapat karpet merah bisa tampil di tempat layak di luar sana. Karena yang terpenting adalah bagaimana pendengar asing bisa menerima musik yang dibawa. Kembali melihat band-band di paragraf atas, mereka sudah menjawab hal tersebut, dengan diajak tampil di tempat yang memang seharusnya pada kontestasi luar negeri.
Ironi rasanya ketika sebuah band atau musisi melenggang pergi ke luar tapi hanya tampil di depan publik sendiri atau masyarakat lokal yang kebetulan tinggal di sana. Tidak ada yang spesial, seperti memindahkan lokasi dan marketnya saja. Karena seharusnya memaknai go internasional tidak boleh terdengar sesempit itu.
Jadi, sebetulnya adalah bukan tentang di wilayah mana mereka tampil, tapi spektrum-spektrum asing yang harus dijajal dengan penampilan yang wajib memikat mata-mata baru, sambil mengolah berbagai peluang yang ada, yang mungkin di kemudian hari bisa menjadi potensi bisnis baru untuk keberlangsungan band.
Atau misalkan bicara dalam level yang lebih advance, go internasional mungkin bisa diartikan dengan: pertama, sign dengan label ternama luar negeri yang memiliki jaringan distribusi tepat; kedua, sign dengan booking agent yang tahu benar mana panggung yang cocok dengan karakter band masing-masing; ketiga, mempekerjakan PR untuk membangun narasi diri dan berbagai macam urusan publikasi di tengah jutaan band lain, keempat, sudahi menganggap tampil di depan masyarakat lokal yang kebetulan tinggal di luar negeri sebagai go internasional.
Image soource: Shutterstock
Please choose one of our links :